Postingan

Ritual Mappeca Sure (Bubur Asyura); Tak Sekadar Memperingati Tragedi

Gambar
  IJHAL THAMAONA Fajar baru saja menyingsing di langit Karbala. Angin padang gurun mengalir pelan, membelai tenda-tenda yang berdiri di bawah langit merah muda. Seorang lelaki berusia 58 tahun baru saja menyelesaikan salat Subuh. Ia berdiri hening dalam doa, menatap ke luar tenda, ke seberang padang tempat pasukan besar telah mengepungnya. Empat ribu orang, bersenjata, berbanjar. Sementara di sisinya, hanya 72 jiwa: 32 prajurit berkuda, 40 pejalan kaki, dan selebihnya perempuan serta anak-anak. Sejarah akan mencatat ini bukan sebagai pertempuran, tapi tragedi Karbala. Lelaki itu, yang wajahnya teduh dan bercahaya, adalah Imam Husein, cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW. Ia menaiki kudanya, mendekati pasukan musuh yang sesungguhnya adalah sesama Muslim. Di hadapan mereka, ia berseru dengan suara yang menggugah hati: “ Lihatlah nasabku, pandangilah siapa aku ini, lantas lihatlah siapa diri kalian. Perhatikan apakah halal bagi kalian untuk membunuhku dan mencederai kehormatanku ...

Titel Haji; Sejarah tentang Kemuliaan dan Perlawanan

Gambar
 By: IJHAL THAMAONA Di antara sekian ibadah yang dilakukan oleh umat Islam, hanya naik haji ke Baitullah yang mendapatkan titel. Gelarnya melekat seumur hidup. Segera setelah seseorang pulang dari berhaji di Tanah Suci, masyarakat pun menyematkan titel mulia itu di depan namanya—Haji Fulan atau Hajjah Fulanah. Gelar ini bukan sekadar sebutan, tetapi simbol dari suatu perjalanan agung, kedalaman spiritualitas sekaligus napak tilas jejak historis.   Gelar ‘haji’ tak akan Anda temukan kecuali di beberapa negeri Melayu, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei. Akan halnya Indonesia, gelar haji   memiliki sejarah tersendiri.   Informasi umum yang kita terima, gelar haji pertama kali muncul di seputar tahun 1916. Gelar itu, demikian dikatakan oleh Agus Sunyoto, secara sengaja diberikan oleh Kolonial Belanda kepada orang-orang yang telah berhaji. Bukan penghormatan, tetapi untuk  kepentingan  pengawasan. Mengapa harus diawasi? Karena para haji waktu itu bukan han...

Piagam Menara Gading

Gambar
  Ijhal Thamaona Ruang berpendingin malam itu tidak kuasa menyingkirkan keringat yang terus merembes keluar dari pori-poriku. Adrenalin yang terpacu memaksa hormon-hormon dalam tubuhku memproduksi keringat dalam udara yang disemprot AC.  Seiring dengan gemuruh aula megah itu, adrenalinku terasa makin bergerak cepat ketika namaku disebut. Dr. M aulana E ka R asyid A rfan S aputra A lamsyah T aufik A bdullah H afidz U mar , MA, M.Si, Ph. D.,  peneliti terbaik tahun ini. Dengan langkah yakin, aku menuju panggung. Jas terbaik menempel rapi di tubuhku. Beberapa kolegaku terlihat memotret dengan HP-masing-masing. Direktur dari Lembaga Riset  tempatku bekerja menyodorkan piagam berbingkai kuning keemasan. Sorot lampu memantul dari bingkai piagam itu. Lalu Pak Direktur berkata, “penghargaan ini diberikan kepada Saudara Maulana Eka, ah panjang sekali namanya ya....,tetapi kami biasa memanggilnya ‘Dr. MERASA TAHU.’ Ucapan Pak Direktur terputus oleh sorak-sorai hadirin dan tepu...

Anak Miskin Jadi Sarjana: Bukan Keajaiban, Tapi Tanda Gagalnya Sistem Pendidikan

Gambar
  Ijhal Thamaona Kisah-kisah tentang keluarga miskin yang  berhasil menyekolahkan anaknya hingga mencetak sarjana bahkan sampai meraih gelar doktor, selalu mengalirkan inspirasi.  Di media sosial ceritanya memantik perhatian yang tinggi. Narasinya dibagikan berulang-ulang. Orang menanggapinya dengan pujian dan rasa haru. Keberhasilan  orang-orang miskin itu menorehkan kesan yang kuat. Sebab mereka meraih sarjana dengan perjuangan yang berdarah-darah. Ada yang orang tuanya hanya buruh tani, payabo-yabo  (pemulung), pembantu dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang menunjukkan mereka dari kelas bawah.  Simaklah kisah Siti Soleha, siswa dari Indramayu yang orang tuanya hanya buruh tani, tetapi bisa tembus kulih S2 Northeast Normal University, China. Orang tuanya dan dia sendiri harus jungkir balik untuk bisa terus mengecap pendidikan. Di lain tempat ada cerita tentang Chanita, demi dia agar bisa merengkuh cita-cita merebut gelar sarjana, kakaknya memilih putus...

Habis Gelap Ada yang Belum Terang: Kartini, Emansipasi dan Ilusi Kolonial

Gambar
 Ijhal Thamaona “ Ibu Kita Kartini, putri sejati, wanita yang mulia dan harum namanya." Begitulah yang terpatri di benak para anak-anak sekolah.  Lagunya kerap didendangkan, hari lahirnya ditetapkan sebagai emansipasi wanita dan kiprahnya dijadikan patokan gerakan perempuan di Indonesia.  Setiap tanggal 21 April, Kartini dan narasi tentangnya dilantangkan kembali. Kalau anda hidup dan sudah bisa memahami situasi pada masa orde baru, maka tanggal 21 April akan anda rasakan sebagai hari serba Kartini. Wanita berkebaya datang di acara-acara kantor, spanduk ‘Habis Gelap Terbitlah Terang” membentang di mana-mana. Namun dalam terang ketika habislah gelap itu, terbitlah satu pertanyaan, mengapa Kartini? Betulkah ia tonggak awal gerakan perempuan di Indonesa? Kalau memang Kartini, apakah ia dianggap pejuang emansipasi hanya karena surat-suratnya yang menunjukkan keresahan atas nasib perempuan Indonesia yang dikerangkeng  adat-istiadat dan dikungkung bud...

Serba Tahu dan Matinya Kepakaran

Gambar
Ijhal Thamaona Inilah era di mana semua orang seolah telah jadi pakar. Seorang selebgram yang tidak jelas latar belakang   keilmuanya bisa berkomentar soal skin care   seakan-akan dia lebih pakar dari dokter kecantikan. Sebaliknya dokter kecantikan malah menjelaskan panjang lebar soal satu ijazah palsu atau tidak. Caranya   menjelaskannya mengesankan   seolah olah dia lebih hebat dari ahli digital forensik.   Di waktu lain seorang pesulap malah bicara soal konspirasi global dan pertahanan keamanan. Ajaibnya banyak orang yang memercayainya bahkan memegangnya mati matian sebagai pendapat yang paling benar. Ini bukan lagi sekadar salah informasi, tapi seperti kata Tom Nichols adalah proses matinya kepakaran. Pengetahuan yang disusun berdasarkan metode dan dibangun berbasis riset,   runtuh   satu persatu.   Era di mana tidak hanya semua orang berhak berpendapat, tapi semua pendapat sama benarnya. Hak berpendapat telah disalahpahami sebagai "seluru...

Tawa Guru Dollah

Gambar
  Ijhal Thamaona   Sejenak Ia perbaiki letak kopiahnya yang sudah memudar warnanya. Kopiah yang tepinya sudah terlihat kekuningan namun di beberapa bagian tersaput warna putih, kini bertengger cukup apik di kepalanya. Lalu Ia melanjutnya menjelaskan soal penjumlahan angka desimal. Mata pelajaran matematika yang cukup memusingkan bagi anak-anak SD di kampung itu. Tangan guru Dollah yang tengah mengajarkan penjumlahan desimal itu dengan lincah menari-nari di papan tulis hitam. Kapur putih sesekali berdecit-decit ketika bergesekan dengan papan tulis tersebut. Tangan guru Dollah sendiri sudah berlepotan warna putih yang sesekali tanpa sadar Ia letakkan di kopiahnya saat memperbaiki letaknya. “ Bagaimana, apakah semua telah paham? Tanya guru Dollah sesaat setelah tangannya mencorat-coret kapur di papan tulis. Matanya menyapu kelas. Beberapa terlihat mengangguk tanda paham, tapi kebanyakan hanya diam membisu. Guru Dollah mafhum, banyak yang belum mengerti. “ Ha..ha..ha.., ki...