Postingan

Menampilkan postingan dengan label Sastra-Cerpen

Piagam Menara Gading

Gambar
  Ijhal Thamaona Ruang berpendingin malam itu tidak kuasa menyingkirkan keringat yang terus merembes keluar dari pori-poriku. Adrenalin yang terpacu memaksa hormon-hormon dalam tubuhku memproduksi keringat dalam udara yang disemprot AC.  Seiring dengan gemuruh aula megah itu, adrenalinku terasa makin bergerak cepat ketika namaku disebut. Dr. M aulana E ka R asyid A rfan S aputra A lamsyah T aufik A bdullah H afidz U mar , MA, M.Si, Ph. D.,  peneliti terbaik tahun ini. Dengan langkah yakin, aku menuju panggung. Jas terbaik menempel rapi di tubuhku. Beberapa kolegaku terlihat memotret dengan HP-masing-masing. Direktur dari Lembaga Riset  tempatku bekerja menyodorkan piagam berbingkai kuning keemasan. Sorot lampu memantul dari bingkai piagam itu. Lalu Pak Direktur berkata, “penghargaan ini diberikan kepada Saudara Maulana Eka, ah panjang sekali namanya ya....,tetapi kami biasa memanggilnya ‘Dr. MERASA TAHU.’ Ucapan Pak Direktur terputus oleh sorak-sorai hadirin dan tepu...

Tawa Guru Dollah

Gambar
  Ijhal Thamaona   Sejenak Ia perbaiki letak kopiahnya yang sudah memudar warnanya. Kopiah yang tepinya sudah terlihat kekuningan namun di beberapa bagian tersaput warna putih, kini bertengger cukup apik di kepalanya. Lalu Ia melanjutnya menjelaskan soal penjumlahan angka desimal. Mata pelajaran matematika yang cukup memusingkan bagi anak-anak SD di kampung itu. Tangan guru Dollah yang tengah mengajarkan penjumlahan desimal itu dengan lincah menari-nari di papan tulis hitam. Kapur putih sesekali berdecit-decit ketika bergesekan dengan papan tulis tersebut. Tangan guru Dollah sendiri sudah berlepotan warna putih yang sesekali tanpa sadar Ia letakkan di kopiahnya saat memperbaiki letaknya. “ Bagaimana, apakah semua telah paham? Tanya guru Dollah sesaat setelah tangannya mencorat-coret kapur di papan tulis. Matanya menyapu kelas. Beberapa terlihat mengangguk tanda paham, tapi kebanyakan hanya diam membisu. Guru Dollah mafhum, banyak yang belum mengerti. “ Ha..ha..ha.., ki...

Kiai Haji Bawakaraeng

Gambar
 Ijhal Thamaona  Aku tergemap ketika sopir mobil yang aku tumpangi tiba-tiba berteriak: “Kahayya!” Bergegas aku raih tas ransel di bawah jok mobil yang aku duduki.  “Ya…..pak, berhenti! Aku turun di sini.” Mikrolet merah yang aku tumpangi menepi. Aku turun, lalu membayar ongkos tumpangan ke pak sopir.  Untuk sesaat aku berdiri di sisi jalan tersebut. Memejamkan mata sejenak, sambil menghirup udara kampung Kahayya. Kebiasaan yang sering aku lakukan setiap sampai di kampung ini. Aku suka dengan udara Kahayya, sejuk dan bersih.  Udara dingin meresapi paru-paruku. Sejuk. Sambil tetap memejamkan mata, aku mencoba menghirup kembali udara dalam-dalam. Udara sejuk itu kembali merasuk ke paru-paruku, tapi rasa dinginnya membuat aku terbatuk-batuk. “Sial….! Mungkin kampung ini tidak mau bersahabat lagi denganku.” Rutukku dalam hati. Mungkin karena sudah agak lama aku tidak berkunjung kemari, pikirku. Kahayya bukanlah kampung asing bagiku. Seluruh lekuknya aku akrabi. Udar...