Tawa Guru Dollah
Ijhal Thamaona
Sejenak Ia
perbaiki letak kopiahnya yang sudah memudar warnanya. Kopiah yang tepinya sudah
terlihat kekuningan namun di beberapa bagian tersaput warna putih, kini
bertengger cukup apik di kepalanya. Lalu Ia melanjutnya menjelaskan soal
penjumlahan angka desimal. Mata pelajaran matematika yang cukup memusingkan
bagi anak-anak SD di kampung itu.
Tangan guru Dollah yang tengah mengajarkan penjumlahan desimal itu dengan lincah menari-nari di papan tulis hitam. Kapur putih sesekali berdecit-decit ketika bergesekan dengan papan tulis tersebut. Tangan guru Dollah sendiri sudah berlepotan warna putih yang sesekali tanpa sadar Ia letakkan di kopiahnya saat memperbaiki letaknya.
“Bagaimana, apakah semua telah paham? Tanya guru Dollah sesaat setelah tangannya mencorat-coret kapur di papan tulis. Matanya menyapu kelas. Beberapa terlihat mengangguk tanda paham, tapi kebanyakan hanya diam membisu. Guru Dollah mafhum, banyak yang belum mengerti.
“Ha..ha..ha.., kita ulangi kalau begitu.” Ucapnya diiringi dengan tawanya yang khas.
Seluruh murid-murid sekolah dasar itu hafal dengan tawa khas guru Dollah. Bahkan ekspresi yang muncul di raut wajahnya. Pipinya tertarik sempurna, mata sedikit menyipit, dan gusinya yang agak kehitam-hitaman terlihat jelas. Tawa yang sempurna dan betul-betul tertawa tanpa dibuat-buat. Walau tidak terlalu nyaring, tapi jelas menunjukkan keriangan. Dalam situasi apa pun Ia akan selalu tertawa dengan tawanya yang khas itu.
Pernah
suatu saat guru Dollah memakai sepatu yang bolong di ujungnya. Jempol kaki dan
kelingkingnya mencuat keluar. Ketika seorang murid menunjuk sepatunya yang
bolong, guru Dollah tertawa dengan tawanya yang khas.
“Wah...belum bisa beli yang baru.” Ucapnya di sela tawanya yang khas.
Besoknya
guru Dollah datang dengan sepasang sepatunya yang telah ditambal dengan kulit,
warnanya senada dengan sepatunya.
“Sekarang jari-jari saya tidak nongol lagi”, katanya sembari tertawa, lagi-lagi dengan tawanya yang khas.
Pagi itu
seperti biasa guru Dollah telah berada kembali di tengah-tengah kelas. Kali ini
Ia mengajar Ilmu Pengetahuan Alam. Pagi itu sesungguhnya guru Dollah merasakan
perutnya tidak nyaman, namun seperti biasa Ia tetap mengajar sambil sesekali
ketawa dengan tawanya yang khas. Ketika matahari semakin memanjat naik,
perutnya semakin melilit.
Sejak semalam perut guru Dollah memang belum terisi nasi. Ia hanya sempat makan ketela pohon, sementara nasi yang sepiring Ia harus relakan pada anak semata wayangnya yang menangis. Anaknya yang mungil itu masih ingin makan. Sebelumnya anak yang berusia empat tahun itu telah makan bersama ibunya, tapi mereka hanya makan sepiring berdua. Guru Dollah tidak tega mendengar tangisan anaknya, apalagi mata anaknya yang bulat berair itu tidak lepas menatap sepiring nasi, jatah untuk dirinya. Di rumah guru Dollah, beras memang telah menipis. Istrinya berusaha memasak hemat, agar beras yang ada bisa bertahan sampai akhir bulan.
Gaji guru
Dollah yang ia terima pada awal bulan, tidak cukup untuk membeli beras yang
banyak. Guru Dollah cuma guru honorer, gajinya bisa bertahan empat hari belaka.
Setelah membayar kontrakan dan beli beras, gajinya langsung lindang pupus. Pada
masa itu jangan dikira mudah untuk mencari pekerjaan tambahan, dan walau ada,
guru Dollah belum tentu mau.
Pernah suatu saat Ia ikut menggarap kebun tetangganya, tapi begitu Ia ingat bahwa di kelas murid-muridnya pasti sedang menunggunya, tanpa berkata-kata ia langsung meninggalkan ladang itu. Ia bahkan lupa kembali ke rumahnya saking terburu-burunya berangkat ke sekolah. Ia baru sadar setelah tiba di sekolah murid-muridnya menunjuk kakinya yang berlumpur dan pakaiannya yang kotor. Sambil ketawa dengan tawanya yang khas, guru Dollah buru-buru pulang, mengganti pakaian dan segera balik lagi ke kelasnya. Kepada yang punya kebun, guru Dollah akhirnya minta untuk berhenti kerja. Ia berhenti tanpa diberi upah sesen pun, soalnya Ia memang bekerja belum genap sehari. Tapi ia hanya tertawa dengan tawanya yang khas.
Sejak itu ia tidak mau lagi cari kerja sambilan. Bagi guru Dollah mengajar sudah menjadi bagian dari jiwanya. Sehari saja ia tidak mengajar di kelas, rasanya ada yang kurang. Makanya meski ia mengajar dari pagi sampai siang dengan mata pelajaran yang berganti-ganti ia tetap senang. Selalu ia tertawa dengan tawanya yang khas. Bila muridnya paham pelajaran yang diajarkan, guru Dollah ketawa. Kala muridnya tidak paham, ia tetap ketawa. Bahkan jika ada muridnya yang tertidur saat pelajaran sedang berlangsung, guru Dollah tetap tertawa. Malamnya saat tiba di rumah, guru Dollah segera akan memeriksa dengan tekun setumpuk tugas yang telah dikerjakan oleh muridnya. Jika menemukan tugas itu terjawab dengan benar semua, guru Dollah ketawa dan bila jawabannya juga salah semua, guru Dollah tetap tertawa. Tidak keras, tapi seluruh parasnya terlihat tertawa. Tarikan pipi, mata yang menyipit dan gusi yang utuh terlihat. Sebentuk tawa yang sempurna.
Menjelang siang, perut guru Dollah semakin melilit. Beberapa kali perutnya terdengar berbunyi kruyuk..kruyuk... minta untuk diisi. Tapi guru Dollah tetap mengajar, sesekali terdengar ia tertawa. Setelah pelajaran usai, guru Dollah pun meninggalkan kelas, berjalan pulang ke rumahnya.
Demikian guru Dollah berada di jalan berbatu, matahari yang menyengat segera menyiram tubuhnya. Disengat panasnya matahari di kala perut keroncongan melilit, bukan hal yang menyenangkan. Guru Dollah mulai merasa pening. Pandangan mulai berkunang-kunang, tapi ia tetap melangkah pulang menuju rumahnya. Sebentar Ia berhenti, matanya singgah di warung pinggir jalan. Ia berpikir untuk membeli segelas air mineral untuk mengganjal perutnya. Tangannya merogoh kantong di bajunya. Kosong..! Pindah ke kantong celananya..., juga kosong. Tiba-tiba guru Dollah ketawa. Tawa yang sempurna. Ia baru ingat sejak beberapa hari ia tidak memiliki uang sesen pun. Lalu ia melanjutkan langkahnya, berjalan sambil membayangkan sepiring nasi di rumah. Kalau tidak ada, biarlah segelas teh hangat dan ketela rebus. Mungkin itu cukup untuk mengganjal perutnya hari ini.
Guru Dollah
tiba di rumahnya disambut seorang tamu. Ketua RT.
“Wah...kebetulan guru Dollah telah datang.” Sambut ketua RT dengan gembira.
“Eh..iya pak, silakan duduk dulu pak, saya ke dalam sebentar menyimpan tugas dari anak-anak.”
“Wah...tidak biasanya pak RT datang siang-siang ke
rumah saya. Ada sesuatu yang penting pak?” Tanya guru
Dollah setelah kembali menemui ketua RT yang duduk menunggu di serambi rumahnya
“Iya benar pak. Urusan ini bisa dibilang penting,
apalagi bagi seorang pendidik seperti pak Dollah.” Kata pak
RT memulai penjelasannya. “Pak Dollah
mungkin sudah pernah dengar program pemerintah untuk memajukan pendidikan
nasional kita?” Lanjut Pak
RT bernada tanya.
“Oh...benar pak, bukankah namanya Program Bina Ilmu
Rakyat?”
“Betul pak....betul....!” ucap pak RT sambil tersenyum-senyum.
“Konon program ini lumayan berhasil pak. Sebagian dananya bahkan disumbangkan ke Sinegal..atau ke negara apa begitu... untuk membantu guru-guru di sana.”
Guru Dollah hanya mengangguk-angguk mendengarnya.
“Nah begini loh pak...untuk menyukseskan program ini semua rakyat diminta berpartisipasi, menyumbang sebanyak 500 rupiah. Nah...saya ke sini untuk meminta bapak ikut berpartisipasi, memberi sumbangan 500 rupiah. Cukup besar sih pak, bisa beli lima liter beras, tapi ini kan penting untuk pendidikan, apalagi bapak seorang pendidik bukan?”
Sejenak
guru Dollah terhenyak. Kepalanya yang pening tiba-tiba dirasakan mulai
berputar. Matanya semakin berkunang-kunang. Tapi tiba-tiba di tengah situasi
itu, guru Dollah tertawa. Mulanya tawanya tidak keras, tawa seperti biasa.
Tarikan pipi, mata yang menyipit dan gusi hitam yang terlihat jelas. Namun
lama-lama tawanya makin keras. Matanya dari menyipit tiba-tiba mendelik.
Tarikan pipinya mengeras dan kini seluruh rongga mulutnya terlihat. Tak ada
lagi tawa yang sempurna, tawa gembira yang khas guru Dollah. Tawa itu tawa
mengejek atau mungkin juga tawa yang marah.
Komentar
Posting Komentar