Anak Miskin Jadi Sarjana: Bukan Keajaiban, Tapi Tanda Gagalnya Sistem Pendidikan
Ijhal Thamaona
Kisah-kisah tentang keluarga miskin yang berhasil menyekolahkan anaknya hingga mencetak sarjana bahkan sampai meraih gelar doktor, selalu mengalirkan inspirasi. Di media sosial ceritanya memantik perhatian yang tinggi. Narasinya dibagikan berulang-ulang. Orang menanggapinya dengan pujian dan rasa haru. Keberhasilan orang-orang miskin itu menorehkan kesan yang kuat. Sebab mereka meraih sarjana dengan perjuangan yang berdarah-darah. Ada yang orang tuanya hanya buruh tani, payabo-yabo (pemulung), pembantu dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang menunjukkan mereka dari kelas bawah. Simaklah kisah Siti Soleha, siswa dari Indramayu yang orang tuanya hanya buruh tani, tetapi bisa tembus kulih S2 Northeast Normal University, China. Orang tuanya dan dia sendiri harus jungkir balik untuk bisa terus mengecap pendidikan. Di lain tempat ada cerita tentang Chanita, demi dia agar bisa merengkuh cita-cita merebut gelar sarjana, kakaknya memilih putus sekolah.
Kisah-kisah itu memang menginspirasi, bahwa orang miskin pun tidak kalah dengan mereka yang sejak kecil bergelimang harta. Tidak ada bedanya anak yang sarapan pizza dengan bocah yang makan seadanya. Jika punya tekad yang kuat, dan semangat juang yang tingi, anak dari kalangan miskin juga bisa bersaing tanpa henti. Tetapi betulkah demikian? Saya rasa di sinilah tersembunyi satu persoalan besar. Anak-anak miskin itu dipuji setelah lulus, tapi dilupakan saat berjuang. Keberhasilan anak miskin menjadi sarjana, seolah-olah menunjukkan bahwa di negeri ini siapa pun berhak mendapatkan pendidikan yang layak, padahal senyatanya tidak. Yang miskin memang bisa menjadi sarjana, bahkan ada yang tembus bertitel doktor, tetapi mereka harus merebut itu. Catat! ‘Merebut’, kawan, bukan menerima. Artinya sistem belum memberikan ruang bagi anak miskin untuk secara mudah mendapatkan gelar sarjana. Mereka harus berjibaku. Akses mereka terhadap pendidikan yang layak tidak terbuka. Michael P. Todaro, seorang ekonom, menegaskan bahwa semakin rendah status ekonomi seseorang, semakin sulit baginya untuk mengakses fasilitas yang dapat meningkatkan kesejahteraan, termasuk pendidikan.
Kenyataan yang terjadi adalah ketimpangan dalam mengakses pendidikan yang berkualitas. Yang kaya bisa menempuh pendidikan di sekolah dengan fasilitas serba lengkap. Belajar dengan pendingin udara, alat pembelajaran berteknologi tinggi, serta diajar oleh guru lulusan universitas luar negeri. Sementara anak orang miskin hanya bisa duduk di bangku sekolah yang rapuh, gedung sekolahnya doyong, dan menulis di buku yang lecek.
Ketika anak-anak dari keluarga mapan melesat mulus dengan bimbingan belajar, sekolah internasional, dan beasiswa luar negeri sejak SMP, maka anak-anak keluarga miskin tidak hanya belajar, tapi juga bertahan hidup. Seturut kata Wai Poi (2016) persoalannya adalah titik berangkat antara anak-anak orang kaya dan orang miskin yang tidak sama. Kesempatan mendapatkan akses pendidikan yang baik, kesehatan dan gizi yang bagus tidak mudah diperoleh oleh anak-anak miskin. Sementara anak-anak orang kaya dengan mudah mendapatkan fasilitas itu.
Jika start-nya jelas tak sama, lalu di mana letak keadilannya? Apa yang dibayangkan Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan sebagai alat pembebasan., rasanya semakin ke sini semakin kabur. Hari ini, pendidikan lebih mirip seleksi alam. Siapa kuat, bertahan dan terus melaju ke jenjang berikutnya. Yang tak punya cukup bekal, silahkan tersingkir, takdirmu bukan di dunia sekolah. Apalagi seperti diramalkan Piketty, masa depan ekonomi bisa saja bertumbuh, tetapi kesenjangan akan semakin menganga. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang setara bisa jadi semakin sulit.
Di saat kita memperingati Hari Pendidikan 2 Mei ini, diiringi kisah-kisah yang membanggakan dari anak-anak miskin yang berhasil meraih gelar sarjana atau melanjutkan kuliah di negeri seberang, kita harus kembali merenung: ‘ketika anak-anak miskin itu harus berjibaku sendiri agar bisa sekolah, berarti negara belum hadir untuk mereka. Seluruh anak Indonesia membutuhkan pendidikan yang layak dan akses yang setara. Untuk itu negara jangan tanggung-tanggung membiayai dunia pendidikan. Bukan sekadar berbagai makan bergizi untuk memenuhi janji kampanye. Jangan sampai adagium “Orang Miskin dilarang Sekolah” betul-betul nyata adanya.
Komentar
Posting Komentar