Kiai Haji Bawakaraeng
Ijhal Thamaona
Aku tergemap ketika sopir mobil yang aku tumpangi
tiba-tiba berteriak: “Kahayya!” Bergegas aku raih tas ransel di bawah jok mobil
yang aku duduki.
“Ya…..pak, berhenti! Aku turun di sini.” Mikrolet
merah yang aku tumpangi menepi. Aku turun, lalu membayar ongkos tumpangan ke
pak sopir.
Untuk sesaat aku berdiri di sisi jalan tersebut.
Memejamkan mata sejenak, sambil menghirup udara kampung Kahayya. Kebiasaan yang
sering aku lakukan setiap sampai di kampung ini. Aku suka dengan udara Kahayya,
sejuk dan bersih.
Udara dingin meresapi paru-paruku. Sejuk. Sambil tetap
memejamkan mata, aku mencoba menghirup kembali udara dalam-dalam. Udara sejuk
itu kembali merasuk ke paru-paruku, tapi rasa dinginnya membuat aku
terbatuk-batuk. “Sial….! Mungkin kampung ini tidak mau bersahabat lagi
denganku.” Rutukku dalam hati. Mungkin karena sudah agak lama aku tidak
berkunjung kemari, pikirku.
Kahayya bukanlah kampung asing bagiku. Seluruh
lekuknya aku akrabi. Udara sejuknya, sungainya yang jernih, hutan-hutannya yang
rimbun, danaunya yang dingin, dan kehangatan penduduknya amat dekat dengan
jasadku. Namun sungguh bukan karena itu aku seakan telah lebur dengan kampung
ini. Tak sekedar jasad, tapi batinkupun telah luluh di kampung ini. Seorang
gadis. Gadis Kahayya. Dialah yang telah meleburkan segenap raga dan jiwaku
dengan kampung Kahayya. Tapi juga karena dialah jiwaku terlempar dari kampung
ini. Aku mengasingkan diri. Meski tak pernah berjanji untuk tak menginjakkan
kaki lagi di tanah ini, namun egoku selalu membuatku enggan.
Kini aku di sini lagi di Kahayya. Kampung yang telah
sepuluh tahun aku asingkan dari relung jiwaku. Aku berada di sini, saat ini,
sebenarnya tak pernah aku kehendaki. Peristiwa itulah yang membuat aku
terlempar lagi ke kampung ini. Peristiwa luar biasa yang sampai saat ini masih
memenuhi ruang tanya di kepalaku.
***
Sore itu 21 Agustus 2014. Ruang pertemuan para ulama
besar di Sulawesi-selatan tiba-tiba menjadi sunyi. Musyawarah kaum ulama di
Sulsel yang tadinya dipenuhi suara orang berdiskusi kini menjadi senyap. Sore
itu musyawarah organisasi para ulama HTI (Hubbul Tanah Indonesia) demikianlah
nama organisasinya akan memilih pemimpinnya; Rais HTI. Organisasi ini memang
bernama unik, menggabungkan antara bahasa Arab dengan bahasa Melayu-Indonesia.
Hubbul bahasa Arab yang berarti cinta digabung dengan Tanah Indonesia. Sehingga
organisasi ini berarti Cinta Tanah Indonesia.
Organisasi ini dulunya didirikan ulama Indonesia yang
ada di Sulsel dalam rangka membela tanah air Indonesia dari kungkungan
penjajahan Belanda. Karena itu tidak diragukan lagi kecintaan organisasi ini
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sampai sekarang organisasi ini
selalu terdepan menjaga Negara Indonesia dalam bentuknya sebagai Negara Bangsa
yang berdasarkan Pancasila.
Pemilihan Rais HTI di Sulsel ini lazim menggunakan
sistem perwakilan para ulama. Hanya ulama-ulama yang paling diakui kealiman dan
kesalehannya yang berhak memilih dan menetukan siapa yang menjadi pemimpin
organisasi ini. Jumlahnya 7 orang. Konon itu adalah simbol wali pitue (Wali
tujuh). Ketujuh alim ulama inilah yang berdiskusi untuk menunjuk Rais HTI.
Mereka mendiskusikan itu dalam ruangan tertentu. Tak boleh ada orang lain dalam
ruangan tersebut, kecuali ke tujuh ulama khos tersebut, di tambah dua orang
yang ditugaskan mencatat semua proses. Orang tertentu hanya boleh masuk jika di
panggil oleh salah seorang dari ulama yang tujuh itu melalui perantara dua
orang yang ada dalam ruangan.
Demikianlah, hari itu proses penentuan calon rais HTI
tengah berlangsung di dalam ruangan khusus. Tak terdengar suara ribut. Hening
menggantung di udara. Mungkin para ulama tersebut lagi shalat istikharah pikir
peserta musyawarah lainnya yang menunggu di ruang sidang. Ruang itu adalah aula
yang besar di gedung tempat musyawarah. Mereka yang sedang menunggu di ruang
sidang ini bukan pula orang sembarang. Di antara mereka terdiri dari kyai muda,
ustaz, aktivis dan beberapa akademisi yang diantaranya ada yang bergelar
professor. Makanya dua orang tukang catat yang di beri kesempatan masuk ke
dalam ruangan bersama 7 kyai dianggap anugerah luar biasa.
“Ini sudah tiga jam.” Celetuk kyai Rahman. Dia seorang
kyai muda dari pesantren di Wajo. Orang yang lebih tua yang duduk disebelahnya
hanya tersenyum dia juga dikenal selama ini sebagai ustas yang sering ceramah
di Radio. Namanya ustas Maggalattung. Namun sebentar kemudian dia menimpali
“ya….memang begitu, para ulama itu tidak sekedar diskusi, mereka juga
melaksanakan berbagai shalat sunat”. Kyai Muda Rahman tidak berkomentar,
tapi kepalanya mengangguk membenarkan. Sebenarnya dia juga tahu, bahwa para
ulama besar itu dalam memutuskan siapa yang jadi Rais tidak sekedar adu argumen
meyeleksi kriteria calon, tapi juga mereka memohon petunjuk kepada Allah Yang
Maha Kuasa. Bahkan dalam kondisi penentuan rais tersebut, para ulama itu
biasanya berpuasa sunat. Kyai Muda ini hanya mencoba memecah kesunyian yang
sekian lama mendekap mereka.
Kembali Kyai Muda ini membuka mulutnya berniat
melanjutkan pembicaraan. Namun suaranya terhenti ditenggerokan ketika Azis
salah satu si Tukang Catat dalam pertemuan khusus para Ulama itu, terlihat
tergopoh-gopoh keluar. Tanpa sadar Ia berdiri. Ustaz Maggalattung disebelahnya
bagai disentakkan tangan tak terlihat juga ikut berdiri. Ternyata bukan hanya
mereka berdua, hampir semua yang duduk di ruangan itu berdiri. Naluri mereka
menyatakan pasti ada hal penting. Mungkin Sang Rais sudah terpilih. Mereka menyongsong
Azis. Aku ikut berdiri tapi tidak melangkah mendekati Azis. Meski demikian,
sangat jelas dari tempat aku berdiri Azis nampak celingukan mencari-cari
seseorang. “ Mana Rannu….”. Ucap Azis jelas . “Rannu….siapa ? Tanya beberapa
orang yang nampak bingung. Mereka sangkanya akan diberitakan siapa Raisnya,
nyatanya Azis mencari orang. “Rannu Konjo….anak dari Konjo itu”ucap Azis jelas.
“Hah….itu namaku," batinku. Saat itu orang-orang juga serentak
menoleh kepadaku. Aku mendekat. Dengan sedikit bingung aku bertanya
“Ada apa ?”
“Kamu dipanggil ke dalam, ke ruangan pertemuan oleh
para kyai”. Ucap Azis tanpa basa-basi.
Untuk sejenak aku seperti membeku. Kegembiraan
memuncak ke ubun-ubun. Aku tidak bermimpi untuk jadi raisnya, maqamku terlalu
dan amat sangat jauh. Tapi di panggil ke dalam, ke ruang para Kyai khusus itu
berkumpul menentukan Sang Rais adalah anugerah tersendiri.
Dan Kini aku ada dalam ruangan itu. Duduk terpaku.
Membeku. Aku memang tersihir dengan pesona kharisma para Kyai itu. Tapi jika
hanya itu aku tidak sekaget ini, sampai aku tak bisa berkata-kata.
“Kau cari Kyai Ambo Dalle….! Dialah Rais kita,
terpilih secara aklamasi.” Suara lembut Kyai Zamzani, kyai tertua dari 7 kyai
khos itulah yang pertama aku dengar. Aku hanya diam, menerka-nerka Kyai Ambo
Dalle siapa yang dimaksud. Kyai Zamzani tersenyum, seperti mengerti kebingungan
aku. Lalu kyai yang cukup sepuh ini melanjutkan,
“Kau sangat mengenalnya, karena Kyai Ambo Dalle ini
adalah orang yang akrab denganmu, orang yang tinggal di Kahayya itu.”
Seumpama Mendengar suara petir dekat telinga, aku tak
akan sekaget dengan apa yang aku dengar saat itu. Aku memang kenal dengan Ambo
Dalle, tapi dia….mulutku komat-kamit ingin mengucapkan sesuatu, tak berhasil.
Semua kata-kataku tersumbat ditenggorokan. Aku hanya bisa mengap-mengap seperti
orang gagap. Kyai Zamzani tersenyum. “Sudah, besok pagi ananda berangkat ke
Kahayya jemput Kyai Ambo Dalle! Katakan, kamu di utus oleh kami, 7 orang dari
musyawarah ini!”
***
Aku telah berdiri tepat di depan rumah orang yang oleh
Kyai Zamzani disebut Kyai Ambo Dalle. Rumah ini sangat aku kenali. Modelnya
yang panggung. Dindingnya yang dari papan tanpa ukiran, polos dan sederhana.
Tangga kayu yang sudah terlihat agak lapuk, semua lekat dalam benakku. Di
sinilah aku dulu pernah tinggal ketika aku di kampung ini mendampingi
masyarakat mengembangkan koperasi desa. Aku akrab dengan lelaki tua bernama
Ambo Dalle itu yang telah dipanggil Kyai oleh 7 ulama khos HTI.
Aku tak berlama-lama memandangi rumah ini. Matahari
telah beringsut turun ke balik gunung Bawakaraeng. Senja telah datang mendekap
kampung ini. Sebentar lagi gelita akan runtuh di tempat ini. Perlahan aku
melangkahkan kaki menaiki undakan tangga, satu demi satu. Pintu itu terpentang
kaku di depanku kini. Perlahan tanganku mengetuknya.
“Assalamu Alaikum”. Aku mendengar salamku sendiri
sumbang. Tak yakin orang di dalam rumah mendengarnya. Tapi hanya sekali aku
mengetuk dan mengucapkan salam lirih, dari dalam sudah terdengar orang
melangkah ke pintu. Aku akan segera bertemu Orang Tua itu. Orang tua yang dulu
saya hormati namun diam-diam menyesalkan bahkan menyalahkan beberapa
aktivitasnya. Orang tua yang entah kenapa para Kyai Khos di HTI itu
memanggilnya Kyai, padahal bagiku sangat tidak mungkin.
Seraut wajah muncul dari balik pintu yang kini telah
terpentang. Bukan orang tua itu, bukan Ambo Dalle. Wajah yang di depanku
ini….aduh….aku bagai dilempar ke ruang kosong. Aku Hampa. Matanya yang bulat
bening menatapku. Terlihat kejut dalam sinarnya. Alisnya yang hitam tanpa
dipoles itu terangkat naik. Kesunyian menggantung di antara kami. Sampai dia
memutuskannya dengan kata lirih “ Ra..n…nu!” Hanya itu, tak ada kata
lain. Aku hanya mengangguk. Dia tak lagi bicara. Mata beningnya jatuh ke lantai.
Persis dengan perasaanku yang tiba-tiba luruh, terbanting dan pecah berantakan.
Sunyi seakan mengurung kami. Aku berusaha keras mengatur gemuruh batinku. Tapi
tak berhasil. Perlahan Ia menyisi kesamping, ah….aku tertolong. Aku pun
melangkah masuk. Sekilas aku meliriknya. “Masih seperti dulu, gadis Kahayya ini
tak memudar sedikitpun pesonanya."
“Kau mencari Ambo Dalle”. Ucap orang tua di depanku.
Dia adalah Pak Kiding saudara tua Ambo Dalle.
“Ya….pak.” Aku menjawab singkat. Aku menatap wajah
orang tua di depanku ini, tampak ketegangan memoles wajah keriputnya.
“Dia ditangkap….!"
Ucapannya singkat. Tapi aku bagai mendengar suara
bedil persis di depan hidungku. Tanpa sadar aku berdiri. Tapi aku kembali
duduk. Menyandarkan tubuhku dengan lunglai di kursi. Gelisah menyergapku.
“Dia ditangkap karena dianggap memimpin ibadah Haji ke
Bawakaraeng…..” Aku tetap diam mendengarkan.
“Dia dianggap telah menyebarkan dan mengajak orang
melakukan perbuatan.. se..sat..” Lanjut Kiding. Kata sesat diucapkan dengan
susah payah. Tangannya tampak bergerak-gerak tak bisa tenang.
Aku terdiam. Aku memikirkan kembali perkataan para
kyai khos itu. “Mengapa para kyai khos itu memilih dia sebagai Rais HTI”.
Pikirku.
Aku dari dulu telah mengenal Ambo Dalle. Bagiku dia
hanya lelaki biasa. Dia bukan ustaz, apalagi ulama. Tak pernah Ia berdiri di
atas mimbar di mesjid kampung ini untuk memberi ceramah. Dia hanya di deretan
jamaah paling belakang, sering datang telat malah. Beberapa kali aku bahkan
tidak menemukannya berjamaah. Saat pulang dari shalat berjamaah, aku malah
melihatnya mengelus-elus seekor kucing yang terluka. Membersihkan lukanya lalu
menaburi serbuk obat tertentu. “Ah….hanya mengurusi kucing rupanya ….shalat
jamaahnya di mesjid ditinggalkan,” batinku gemas waktu itu. Sesekali dia hanya
dipanggil berdoa oleh penduduk yang punya hajatan. Suatu waktu, meski lirih,
aku sempat mendengar dia berdoa ketika seorang syukuran rumah baru:
Nabi
muhammad paentengi
Jibril ampagangi
Nabi rio attukang
Nabi nurung sa’buna kajua
Nabi pahelloi punna mentemmi
Kupaccidongko ripalasa’na nagaia
Nabi adam nabi’na. Buttaia
Nabi manrajuni assalangga buttaa
Aku diberi tahu artinya ketika suatu saat aku
menanyakan kepadanya. Katanya, "Nabi Muhammad yang mendirikan, Jibril yang
memegangnya. Nabi Rio tukangnya, Nabi Nurung hakikatnya kayu, Nabi Pahelloi
jika sudah berdiri. Aku dudukkan di pundak sang naga. Nabi Adam nabinya tanah,
Nabi Manrajuni yang memanggulnya." Doanya asing bagiku, tak pernah
diucapkan oleh ustaz ataupun guru-guru agamaku dulu.
Semua yang dilakukan oleh Ambo Dalle itu bagiku bukan
hanya biasa-biasa saja, tapi nalar Islamku mengatakan ngawur. Subversif malah.
Apalagi keseringannya naik ke Bawakaraeng pada musim haji telah membuatnya
digelari Haji Bawakaraeng.
Haji Bawakaraeng? Huh…! Aku selalu tersenyum
sinis bila orang mengucapkan itu. Bagiku perbuatan itu jelas tidak bisa
dibenarkan. Haji kok ke Bawakaraeng, mestinya kan ke Mekkah.
Konon menurut cerita beberapa orang, kebiasaan berhaji
ke Bawakaraeng sering dilakukan beberapa penduduk di Kahayya dan beberapa
kampung lain yang berada di sekitar gunung Bawakaraeng. Mereka menganggap
bayangan Mekkah ada di sana.
Di gunung itu pula ada beberapa tempat yang diberi
nama serupa dengan di Mekkah, seperti tempat berdoa dan shalat yang disebut
Bakkah . Ada pula jalanan yang disebut shiratal mustaqiem. Jalan itu sempit
hanya cukup untuk satu orang. Jalan itu berada di sisi gunung , sementara di
sisi sebelahnya jurang yang dalam. Tempat ini biasanya dilewati jika mau
menyeberang dari gunung Lompobattang ke gunung Bawakaraeng. Jika melaluinya,
orang harus merayap, menempelkan tubuh ke sisi gunung agar tidak tersapu angin
yang datang dari bawah.
Untuk naik ke Bawakaraeng sebenarnya resikonya besar.
Selain medan yang sulit, cuaca sangat dingin. Tapi itu tak menjadi
halangan bagi orang seperti Ambo Dalle. Dia seakan-akan mendapatkan ketenangan
batin kalau ke sana. Padahal menurutku, jelas itu keliru, buktinya kini….karena
Haji Bawakaraeng itulah Ia ditangkap….Dia dianggap sesat.
Bagaimana aku harus menjelaskan semua ini pada para
kyai khos itu. Bahwa dia tak pantas jadi Rais HTI. Dia tak paham agama, bukan
seorang alim, tidak juga ahli ibadah. Hajinya pun tidak ke Mekkah tapi ke
Bawakaraeng dan sekarang ditangkap karena dianggap sesat dengan perbuatannya
itu. Diam-diam aku akui keterkejutanku tadi mendengar Ambo Dalle ditangkap
hanya karena tidak tahu harus bicara apa nanti pada para kyai khos itu.
Lamunanku terhenti. Kiding tiba-tiba memanggil gadis
Kahayya itu. “Mina…Minasa…. Bawa keluar makanannya nak! Kita makan di sini
saja.” Tak lama gadis Kahayya itu keluar membawa makanan.
Minasa….ya namanya Minasa….aku kenal.. sangat kenal
malah. Bahkan nama lengkapnya yang berbau gunung itu pun aku kenal:
'Minasa Te’ne'. Sepuluh tahun yang lalu, Dialah yang mengikatku dengan
kampung ini, tapi dia pulalah yang membuatku terasing. Semua itu terjadi ketika
Minasa Te’ne dikabarkan akan menikah. Dia akan dinikahkan oleh bapaknya, orang
tua yang bernama Kiding tadi dengan seorang pemuda, anak kepala kampung
sebelah.
Kabar itu pulalah yang membuat kepercayaanku
pada Ambo Dalle semakin rontok. Dialah yang sebelumnya selalu menyatakan aku
berjodoh dengan Minasa, keponakannya. Nyatanya dia akan kawin dengan orang
lain.
Aku makan berdua saja dengan Pak Kiding. Minasa Te’ne
sendiri telah masuk ke Jongki (ruang dalam/dapur). Tak ada suara. Suasana masih
terasa kaku. Saat itu Aku sendiri lebih senang mengembara bersama lamunanku.
Mungkin karena itulah aku tidak menyadari, tidak ada lelaki lain di rumah
itu. Aku hanya berdua dengan Pak Kiding ayah dari Minasa Te’ne.
***
Pagi itu aku ke kota. Aku harus menemui Ambo Dalle
yang sedang dalam tahanan polisi. Pesan tujuh kyai khos harus aku sampaikan.
Aku membayangkan akan bertemu dengan lelaki setengah tua itu, ringkih dan
kesepian di balik jeruji. Pasti sekarang dia akan terlihat kuyu dan putus asa.
Tapi mau bilang apa lagi, kebiasaan ke Bawakaraeng yang konon untuk berhaji
itulah yang menjobloskannya ke tahanan.
Ambo Dalle belum dimasukkan ke penjara, dia masih
dalam tahanan polisi. Maka di kantor itulah sekarang aku berada. Tapi kenapa
ada banyak orang di sini ?
Aku melapor ke piket untuk bertemu dengan Ambo Dalle.
Polisi itu tersenyum sambil mengangguk. “Boleh bung, tapi harus antri.”
“Antri ?" Gumamku dalam hati.
Pak Polisi itu menatapku. Seakan mengerti isi kepalaku
Ia melanjutkan penjelasannya. “Orang-orang banyak di depan itu juga mau bertemu
dengan Ambo Dalle.” Aku menganguk. Lalu menyisi mencari tempat duduk.
Tiba-tiba saja aku tergerak untuk bertanya pada
orang-orang itu. Ada apa mereka berada di situ dan ingin bertemu dengan Ambo
Dalle, sesorang yang dianggap sesat. Ibu Tua di samping saya menatapku heran
ketika aku menanyakan itu. “Loh anak tidak tahu siapa Ambo Dalle ini.” Aku
mengeleng. “Bukan aku tidak tahu, tapi siapa ibu? Kenapa mau datang
ketemu Ambo Dalle yang dianggap…?” Ucapanku menggantung di udara. Tiba-tiba ibu
tua itu melanjutkan. “Anak ingin mengatakan Ia sesat kan?” “Dengarlah nak….kata
ibu ini melanjutkan kalimatnya. "Orang yang dianggap sesat itu, dialah
yang menemaniku dulu merawat anakku yang lumpuh, mengobatinya sampai sembuh.
Padahal aku tidak kenal dia, bukan sanak, bukan pula kadangku."
Dia lalu menunjuk beberapa bapak-bapak yang sedang
berbincang-bincang. “Mereka itu para Petani dari Munte, yang dibantu oleh Ambo
Dalle membuat pengairan ketika kampung mereka sedang dilanda kekeringan.”
Aku menatap orang-orang itu. Ibu Tua di sebelahku
melanjutkan ucapannya. “Mungkin orang yang berpangkat atau mereka yang merasa
paham agama menganggap Ia sesat, tapi bagai kami dia itu sang penolong….” Ibu
Tua itu berhenti sejenak, lalu Ia mendekat ke arahku. Ia berkata pelan
nyaris tak terdengar, “Dia itu Wali…!”
“Wali…?" Ucapku tercekat di
tenggerokan.
"Ah….ibu ini tau apa soal Wali.” Aku diam-diam
berusaha membantah, namun aku merasa tubuhku menggeletar mendengar semua ucapan
ibu tua ini. Untungnya Polisi yang piket nampak melambaikan tangannya.
Giliranku untuk bertemu dengan Ambo Dalle.
Lelaki setengah tua di depanku ini ternyata jauh dari
yang aku sangkakan. Ia tidak tampak kuyu. Matanya berbinar. Tak ada raut putus
asa. Ia tersenyum ketika menjabat tanganku. “Rannu, kita ketemu lagi.” Itu
kalimat pertama dia ucapkan. Ringan dan riang seperti biasanya jika Ia
berbicara. Melihat wajahnya yang berbinar, aku ikut tersenyum.
“Tidak apa-apa kan, kita bertemu dalam kondisi
begini.” Ambo Dalle melanjutkan kata-katanya. Aku mengangguk.
“Sekarang kau sampaikanlah apa yang diamanahkan
ketujuh ulama kita itu.” Aku terperangah. “Dari mana Ambo Dalle tahu tentang
amanah itu segala." Batinku. Namun segera kusampaikan apa yang menjadi
pesan dari ketujuh ulama khos itu. Ia tersenyum, wajahnya datar, tak nampak
rasa terkejut.
“Kau lihat kan, aku sekarang ditahan.” Ucapnya
kemudian. “Lagi pula saya rasa, saya tidak pantas…." Sahutnya pelan.
Aku diam sebentar. Lalu aku mulai berusaha untuk
menyampaikan apa yang selama ini aku pendam tentangnya.
“Saya sudah lama mengkhawatirkan Paman Ambo dengan
kebiasaan paman itu, suatu saat saya yakin paman akan mendapat tuduhan
berbahaya itu, dituduh sesat.”
Saya menunggu reaksinya. Tapi dia terlihat biasa saja.
Lalu dengan tenang Ia berkata, “Tuduhan sesat itu tidak berbahaya nak Rannu….,
yang berbahaya itu para petani kita sekarang di beberapa kampung, tanahnya
sudah dijadikan lokasi tambang, nanti mereka mau bikin apa, keahliannya kan
bertani.” Setelah memandangku sejenak, Ia melanjutkan ucapannya “Soal aku
sesat atau tidak bukankah Allah yang lebih tahu, Dialah yang lebih paham. Saya
sendiri harusnya bersyukur dianggap sesat, supaya tau diri bahwa apa yang saya
lakukan selama ini tak punya nilai apa-apa.” Aku masih mau melanjutkan
perbincangan itu namun tiba-tiba terdengar suara salam.
“Assalamu Alaikum…" Seseorang memberi salam
menengahi percakapan kami. Suara yang saya kenal. Sontak saya menoleh. Kyai
Zamzani tampak berdiri di balik pintu. Segera aku menyongsongnya. Mencium
tangannya. “Kyai ada disini.” Ucap saya takzim. “Ya…berita sangat cepat
dihantarkan angin, makanya para kyai memutuskan aku harus kesini.”
Ucapnya.
Ia lalu menuju ke Ambo Dalle. Kyai Zamzani nampak
menjabat tangannya. Sepintas aku liat Kyai Zamzani ingin mencium tangan yang
dijabatnya itu, tapi perlahan Ambo Dalle menariknya. “Kyai…, kalau kyai merasa
tidak pantas, lalu siapalah yang patut? Ucap Kyai Zamzani memulai
kata-katanya. Aku tak bisa meraba ucapan kyai Zamzani; apakah kata-katanya itu
terkait soal jabat tangannya tadi atau soal Ambo Dalle yang tak merasa pantas
jadi Rais HTI.
Aku terdiam di sudut ruangan mendengarkan perbincangan
dua orang ini. Aku mulai merangkai-rangkai berbagai peristiwa. Ambo Dalle yang
punya kebiasaan naik ke Bawakaraeng di musim haji. Perbuatannya yang dianggap
sesat. Keputusan para kyai khas menetapkan Ambo Dalle sebagai Rais HTI, satu
keputusan sakral yang didahului salat istikharah. Lalu barusan, sekilas
tadi, Kyai Zamzani ingin mencium tangannya.
Ya...Allah! Siapa sesungguhnya Engkau wahai Ambo
Dalle? Mengapa kau begitu dicintai rakyat kecil dan istimewa di mata para
kyai?
Tiba-tiba sekujur tubuhku terasa meremang. Terlintas
lagi, perkataan ibu tadi, “Dia Wali!”
"Ambo Dalle wali….?" Pertanyaan itu kembali
bergumuruh memukul-mukul benakku.
Aku menatapnya dari sudut ruangan. Untuk pertama
kalinya aku merasakan kedalaman kata-kata Ambo Dalle ketika berbincang dengan
Kyai Zamzani. Aku melihat wajahnya seperti memancarkan cahaya. Aku betul-betul
dicengkau pesona menakjubkan.
Aku baru tersadar ketika kyai Zamzani menepuk
pundakku. “Ayo kita pulang!” Aku berdiri. Aku mendekati Ambo Dalle. Ambo Dalle
lagi-lagi tersenyum cerah. “Kau sudah bertemu Mina?” Pertanyaan yang tak
kusangka. Aku tergagu tak bisa berkata. Aku hanya menganggukkan kepala.
“Kapan kau melamarnya ?” Tanya Ambo Dalle sareh.
"Melamarnya ? pertanyaan gila macam apa ini
?" Aku menatapnya dengan pandangan bingung. Seperti mengerti
pikiranku. Ambo Dalle melanjutkan. “Ya…melamar Mina, Minasa Te’ne. Dia
menunggumu. Kau sangka dia sudah menikah kan? Belum Rannu. Dulu penikahan itu
tidak pernah jadi. Si laki-laki dan Mina menolaknya, keduanya beralasan tidak
saling menyintai.”
Penjelasan Ambo Dalle membuatku terpana. Tiba-tiba aku
teringat, semalam aku hanya makan berdua dengan Pak Kiding, ayah Minasa Te,ne,
tak ada lelaki lain. Ya…tak ada lelaki lain, Mina belum menikah. Tiba-tiba
seperti ada yang menggerakanku, aku meraih tangan Ambo Dalle dan kucium takzim.
“Segera….segera…aku akan melamarnya Kyai.” Ucapku tulus, khususnya ketika akau
memanggilnya Kyai. Aku mulai yakin dia benar. Pandanganku yang menganggapnya
ngawur selama ini, menguap entah kemana. Kini yang terngiang-ngiang di
telingaku adalah ucapannya dulu. “Kalian berjodoh!”
***
Surat Keputusan Pengurus organisasi ulama Hubbul Tanah
Indonesia(HTI) aku yang mengetiknya atas perintah tujuh kyai khos. Pada baris
pertama nama pengurus tertulis Rais HTI. Aku segera mengetik nama orang yang
disepakati oleh para kyai: Kyai Ambo Dalle.
“Salah bukan itu namanya.” Tiba-tiba dari
belakang Kyai Zamzani menegurku. Refleks aku berhenti.
“Salah apanya?” Pikirku bingung. Bukankah ketujuh kyai
itu tetap sepakat bahwa kyai Ambo Dalle raisnya meskipun kyai itu menolaknya?
Bukankah mereka juga telah sepakat bahwa biarlah yang melaksanakan tugasnya
adalah wakilnya yaitu Kyai Zamzani sendiri? Terus apa lagi yang
salah.
Semua pertanyaanku itu hanya berkelebat dalam benakku.
Aku tak berani berkata-kata, aku hanya menunggu. Kyai Zamzani mendekat, lalu
dengan suara yang jelas dia berkata,
“Kyai Ambo Dalle sering naik ke gunung Bawakaraeng,
menyepi, tahannus dan uzlah, hal itu biasa dilakukannya pada musim haji. Dia
berhenti sejenak memperhatikan SK yang sedang kuketik.. “Orang seperti saya
mungkin hanya menganggapnya menyepi untuk ibadah, tapi siapa yang tahu bahwa
dia tidak sedang berhaji ? Siapa yang pernah lihat bahwa di Bawakaraeng itu
Mekkah tidak datang kepadanya ? Siapa yang pernah saksikan kalau di
Bawakaraeng itu Kabbah tidak diutus Allah mengunjunginya ? Orang seperti
dia, yang di batinnya hanya ada kecintaan kepada Allah, apa susahnya Allah
mendatangkan makhluk-makhluk-Nya itu kepadanya.”
Aku terdiam mendengar Kyai Zamzani menjelaskan, bulu
kuduk saya meremang. Ada nuansa sakral dan magis ketika Kyai Zamzani
menjelaskan semua itu.
Kyai Zamzani lalu meraih SK yang saya ketik, lalu dia
menunjuk tepat pada nama Kyai Ambo Dalle. “Tulis di situ ! “Kyai Haji
Bawakaraeng Ambo Dalle.”
Wallahu a'lam bissawab
Tradisi naik ke Bawakaraeng pada bulan haji, khususnya
jelang idul ad’ha lazim di Sulsel. Sebagian orang menganggapnya itu adalah Haji
Bawakaraeng. Namun cerita ini hanya fiksi, kalau ada nama dan tempat yang sama
itu hanya kebetulan belaka
Komentar
Posting Komentar