Serba Tahu dan Matinya Kepakaran
Ijhal Thamaona
Inilah era di mana
semua orang seolah telah jadi pakar. Seorang selebgram yang tidak jelas latar
belakang keilmuanya bisa berkomentar
soal skin care seakan-akan dia lebih
pakar dari dokter kecantikan. Sebaliknya dokter kecantikan malah menjelaskan
panjang lebar soal satu ijazah palsu atau tidak. Caranya menjelaskannya mengesankan seolah olah dia lebih hebat dari ahli digital forensik. Di waktu lain seorang pesulap
malah bicara soal konspirasi global dan pertahanan keamanan. Ajaibnya banyak
orang yang memercayainya bahkan memegangnya mati matian sebagai pendapat yang
paling benar.
Ini bukan lagi sekadar
salah informasi, tapi seperti kata Tom Nichols adalah proses matinya kepakaran.
Pengetahuan yang disusun berdasarkan metode dan dibangun berbasis riset, runtuh
satu persatu. Era di mana tidak
hanya semua orang berhak berpendapat, tapi semua pendapat sama benarnya. Hak
berpendapat telah disalahpahami sebagai "seluruh pendapat adalah benar dan
karenanya bisa dipegang secara serius meskipun tanpa dasar pengetahuan."
Melubernya informasi
di era ini telah menciptakan ilusi kompetensi. Banyak orang merasa serba
tahu hanya karena melihat youtube, atau
membaca informasi yang beredar melalui medsos, padahal tanpa fondasi ilmiah dan
metode keilmuan yang jelas. Teknologi informasi yang seharusnya memudahkan kita
mengakses pengetahuan, sebaliknya, seperti kata Patrick Lynch, malah menjerumuskan kita menjadi tahu banyak,
tapi mengerti sedikit.
Pada akhirnya
kepercayaan publik telah bergeser dari pakar yang menghabiskan waktu bertahun
tahun meneliti dan berlumus tungkus membangun teori, beralih kepada para influencer
yang hanya mengadalkan viral. Kita beralih dari mengikuti pendapat
seorang ulama yang betul betul bergumul belajar agama, bertahun tahun mendalami
tafsir, misalnya, beralih lebih meyakini kata kata seorang dai hanya karena
kemampuan retorikanya yang memukau.
Nalar publik mundur,
kata Susan Jacoby dalam The Age of American Unreason, gara gara opini dan
insting telah meggantikan cara berpikir kritis.
Lantas bagaimana kita
harus bersikap?
Penting untuk
membangun kembali kepercayaan pada pengetahuan. Salah satu caranya adalah kita
harus bisa belajar rendah hati secara epistemik. Artinya kita harus meyakinj
bahwa pengetahuan begitu kompleks, tidak semua hal kita bisa kuasai dan karena
itu kita harus bersedia mendengarkan mereka yang memang pakar di
bidangnya.
Ini tidak berarti
bahwa seorang pakar juga tidak akan pernah salah, sama sekali tidak, tapi bahwa
pengetahuan harus disusun dengan dasar yang kuat dan metodologi yang jelas.
Sikap mau mendengar mereka yang ahli dalam keriuhan ini artinya juga kita
menghormati pengetahuan yang dibangun dengan susah payah.
Mungkin ada baiknya
juga mengingat kembali cogito ergo sumnya Rene Descartes. Kita mengada justru
jika kita berpikir (kritis). Jangan diubah kita mengada kalau kita tahu
segalanya. Cara itu mungkin akan
menjadikan kita lebih kritis dalam melihat informasi melimpah tapi sering kali
dangkal, bahkan palsu. Di saat yang sama
kita tidak merasa jadi "kakek segala tahu".
Dalam demokrasi, semua
orang memang berhak bicara, tapi tidak
semua layak didengar. Kemampuan berpikir kritis untuk menilai kedalaman menjadi
kuncinya. Dengan itu semoga kita bisa membedakan siapa bicara berdasarkan ilmu dan siapa yang seolah pakar berisi
padahal hanya berisik.
Komentar
Posting Komentar