Sekali lagi Soal Sesat dan Penyesatan dalam Beragama (Bagian Kedua): Bisakah Merangkul Sang Lian?

 



Ini adalah bagian kedua dari tulisan soal “Sekali lagi Soal Sesat dan Penyesatan dalam Beragama.” Bagian kedua tulisan ini, fokus pada pendekatan dalam menyelesaikan munculnya kelompok yang dianggap menyempal dari ajaran agama mainstream.

***

Pasang surut sesat-menyesatkan dalam agama apa pun, biasanya mengikuti naik turunnya dominasi puritanisme dalam agama tersebut. Gellner (1988) melihat ini ibarat pendulum, yakni sebuah proses bolak-balik dalam sejarah perkembangan agama. 

Sebagaimana ayunan pendulum, yang sebentar bergerak ke kiri dan di lain waktu bergeser ke kanan, maka agama pun senantiasa berada pada titik yang berubah-ubah. Ada masa agama berkembang kelompok moderat, tetapi di lain waktu didominasi para kaum puritan. Tepat Ketika agama berada pada posisi puritanisme ini, biasanya pelabelan sesat terhadap yang berbeda mudah terjadi. Apalagi jika di sana berkelindan pula persoalan politik kekuasaan.

Saya tidak akan mengurai lebih lanjut soal itu, tetapi mengingat saat ini berkembang kelompok-kelompok yang dianggap menyempal, maka langkah pertama yang harus dilakukan, adalah mencoba melongok ke cara beragama kelompok mainstream. Jangan-jangan di sana telah membudaya cara beragama yang puritan, penuh ancaman dan eksklusif. Cara beragama semacam itu akan memudahkan munculnya penyesatan. Sekaligus umatnya, karena tertekan, cenderung akan mencari atau membentuk aliran baru yang dianggapnya lebih terbuka, egaliter dan menyenangkan.

Refleksi ke dalam tubuh kelompok keagamaan mainstream ini sendiri perlu. Jangan sampai maraknya kelompok sempalan tersebut, letak persoalannya justru ditubuh kelompok mainstream itu sendiri. Tentu selain kecenderungan puritanisme, masih banyak pula persoalan lain yang perlu dievaluasi dalam tubuh kelompok yang mainstream ini.

Bagaimana langkah selanjutnya untuk menyelesaikan persoalan sempalan ini?

Dalam negara Republik Indonesia ini, dasar penyelesaian kelompok sempalan biasanya berpijak pada Penetapan Presiden Republik Indonesia No 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Kelompok yang dituduh sesat bisa ditindak, dibubarkan bahkan dipenjarakan berdasarkan aturan ini. Dalam pasal 4 pada aturan tersebut memuat sanksi pidana yang diatur dalam pasal 156 KUHP.

Kalau disimak secara seksama, aturan ini sejatinya tidak mempersoalkan keyakinan yang dianggap sempalan jika dihayati secara pribadi dan untuk diri sendiri. Tetapi karena pasal-pasalnya bisa ditafsir sedemikian rupa (orang mengistilahkan pasal karet), maka kata menceritakan atau menyiarkan di depan umum bisa menjerat siapa saja, bahkan seseorang yang hanya meyakini belaka kepercayaan tersebut dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Di saat yang sama, pelaksanaan satu keyakinan atau kepercayaan biasanya identik dengan ekspresi, perayaan dan ritual kerumunan (crowd ritual).  Dalam PNPS No.1  tidak mempersoalkan seseorang untuk memeluk secara individu satu keyakinan yang dianggap menyempal, tetapi membatasi ekspresi dan perayaan mereka atas paham tersebut.

Dengan menekankan menghentikan penafsiran, menceritakan atau melakukan kegiatan di depan umum, maka penganut keyakinan yang dianggap sempalan sebenarnya sedang dicabut identitas partikularnya.  Padahal bagi penganut satu keyakinan, mereka baru berarti jika diberi kebebasan menunjukkan identitas partikularnya tersebut, misalnya cara beribadah, bisa ceramah di depan umatnya dan seterusnya.

Biasanya penyelesaian persoalan kelompok yang dianggap menyempal ini, berakhir dengan pembubaran satu aliran dan penangkapan para pentolannya. Para pentolan kelompok sempalan biasanya dianggap sebagai penyebar dari aliran tersebut. Dalam beberapa dekade terakhir tindakan semacam itu banyak dilakukan. Misalnya pembubaran aliran Gafatar, Lia Eden, Aliran Ahmad Musaddiq dan seterusnya. Tokoh-tokoh dari aliran itu juga banyak yang ditangkap.

Pendekatan hukum semacam ini, mungkin diharapkan membuat jerih masyarakat untuk mencoba-coba bikin aliran-aliran baru yang dianggap sempalan. Tetapi rupanya tidak berhasil sepenuhnya. Masih banyak kelompok atau aliran baru bermunculan. Karena itu, pendekatan hukum semacam ini mungkin tetap perlu digunakan, hanya jika kelompok atau aliran tersebut nyata-nyata membawa ancaman bagi keamanan dan ketertiban dalam bernegara, serta melakukan tindakan kriminal, seperti penipuan, eksploetasi seksualitas, pemaksaan dan kekerasan. Sementara jika aliran itu hanya sekadar berbeda dari mainstream, tapi tidak membahayakan dan mengganggu konsensus bernegara, maka pendekatan yang bisa digunakan adalah pendekatan kultural.

Salah satu bentuk pendekatan kultural itu adalah dengan merangkul kelompok yang dianggap sempalan ini.  Kelompok yang dianggap menyempal diterima di  masyarakat penganut pemahaman keagamaan mainstream dan mengakomodasi hal-hal tertentu dari kelompok ini. Sebaliknya kaum sempalan ini juga tidak melakukan penentangan terhadap kepercayaan dominan. Cara ini sebenarnya meminjam model “multikulturalisme akomodatif” Bikhu Parekh (2000).

Praktiknya, para kelompok sempalan bisa melaksanakan ibadah, melakukan perayaan dalam komunitasnya, tetapi di saat yang sama mereka tidak berupaya mengubah pemahaman dari masyarakat yang menjadi bagian dari kelompok keagamaan mainstream. Para kelompok sempalan juga tidak boleh hidup eksklusif dengan kelompoknya, tetapi harus berbaur dengan kelompok besar yang sudah ada.

Untuk sampai pada “merangkul sang lian” ini, tentu saja tidak mudah. Masing-masing kelompok harus menurunkan ego dan kepentingan masing-masing.

Dalam salah satu Fokus Group Diskusi (FGD) yang dilakukan oleh Litbang Agama Makassar mengenai penanganan aliran sempalan, ada beberapa langkah yang direkomendasikan.  Langkah-langkah yang disebut pula sebagai Risalah Pettarani tersebut, bisa saja menjadi jalan atau proses “merangkul sang lian (sempalan)” ini. Ada tiga langkah, dari enam langkah yang disebutkan dalam Risalah Pettarani, yang relevan dalam hal ini: 

Pertama, dalam memandang aliran yang berbeda harus dimulai terlebih dahulu dengan sikap penuh penghargaan dan tanpa prasangka apa-apa serta mengedepankan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.  

Langkah pertama ini penting, agar semua kelompok keagamaan tidak memulai hubungan dengan aliran lainnya, dengan penuh prasangka serta  menstigma kelompok yang berbeda.  Biasanya kekisruhan berawal dari prasangka dan stigma ini. Karena itu penting memahami ajaran kelompok yang lain secara terang. Mengetahui apa yang sama dan berbeda dengan ajaran yang mainstream. Apa sisi positif dan negatif dari ajaran yang dianggap menyempal itu dan seterusnya.

Kedua, Mengedepankan dialog yang setara dan sikap yang sungguh-sungguh untuk mendengarkan pendapat semua pihak menyangkut pandangan yang diperselisihkan.

Ketiga, aliran-aliran yang berbeda dari mainstream, diharapkan menghargai ajaran agama yang umum dipahami oleh masyarakat dengan tidak melakukan penyesatan atau menyalahkan ajaran agama yang umum. Di saat yang sama jika ada di antara ajaran dari aliran sempalan dianggap tidak lazim dan berpotensi menimbulkan keresahan, lebih baik kelompok yang dianggap sempalan menahan diri dari ekspresi keagamaan yang berlebihan di tengah masyarakat umum.

Terlepas dari penanganan kelompok sempalan dengan metode “merangkul sang lian” ini, yang paling penting adalah keinginan kita bersama untuk saling menghormati dan menghargai. Ada tenggang rasa. Jangan karena atas nama kebebasan, satu tindakan pelecehan yang terang benderang terhadap satu agama dibolehkan. Tetapi di saat yang sama, jangan pula serta merta hanya karena kita berbeda, lantas yang berbeda itu dianggap melecehkan. 

Kalaupun kita menganggap bahwa saudara atau kelompok lain, telah melenceng dari koridor beragama, maka cukuplah bagi kita  sipakainge” (saling memperingatkan) dalam koridor sipakalebbi (saling memuliakan) dan sipakatau (saling memanusiakan). 

    

      

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anak Miskin Jadi Sarjana: Bukan Keajaiban, Tapi Tanda Gagalnya Sistem Pendidikan

Piagam Menara Gading

Ritual Mappeca Sure (Bubur Asyura); Tak Sekadar Memperingati Tragedi