Sekali Lagi Soal Sesat dan Penyesatan dalam Beragama (Bagian Pertama): Sempalan, Persoalan Teologi atau Politik?
Tulisan ini merupakan tulisan pertama soal tradisi sesat- menyesatkan dalam beragama. Dalam seri pertama ini, persoalan sesat-menyesatkan ini akan dilihat dari sisi teologi dan politik. Selanjutnya seri kedua, akan melihat fenomena sesat di Indonesia dan bagaimana seharusnya menanganinya.
***
Sesat, heretic dan menyempal adalah istilah yang lazim dalam umat
beragama. Semua agama hampir pasti menggunakan istilah ini untuk memberikan
label pada kelompok atau aliran yang dianggap berseberangan dengan keyakinan mainstream. Di tubuh Kristen ada sekte
semacam Yehuwa, Mormon, Children
of God dan Christian Science yang dianggap menyempal. Di Katolik pun
demikian, ada Febronianisme, dan Gallikanisme yang juga disebut sesat.
Tentu yang dituduh sesat, justru merasa merekalah
yang lurus. Yehuwa, misalnya, menyebut ajarannyalah yang betul-betul ikut
ajaran Yesus atau Isa al-masih, yang lain justru telah tergelincir.
Bagaimana dengan Islam? Setali tiga uang, agama
terakhir ini pun lekat dengan istilah sesat. Kelompok yang berbeda dengan mainstream, acap kali diberi label sesat.
Di Indonesia aliran yang biasa kena getah penyesatan ini adalah Syiah dan
Ahmadiyah.
Tetapi benarkah kelompok yang dituduh sesat memang
bermasalah dalam soal teologi? Boleh jadi memang ada yang berbeda. Tetapi yang dituduh sesat sendiri meyakini mereka tidak keluar dari ajaran agama yang dianutnya.
Mereka tetap tegak lurus dalam menyembah Tuhan. Di tempat di mana mereka
sendiri mayoritas, tak pernah ada persoalan. Syiah di Iran, dianggap ajaran yang lurus, begitu pun Ahmadiyah di tempat di mana mereka mayoritas.
Dalam Islam, yang selanjutnya akan diulas dalam
tulisan ini, tidak ada satu orang manusia pun atau kelompok yang diberi wewenang untuk
menentukan sesat tidaknya satu kelompok. Satu penggalan ayat dalam Surah al-Nahl ayat 125, gamblang menjelaskan itu. “Wallahu a’lamu biman dhalla an sabili” .
Allahlah yang lebih tahu siapa orang yang telah tersesat dari jalannya”. Begitu
kurang lebih jika diterjemahkan ke Indonesia.
Pesan ayat itu terang-benderang: ‘Tidak ada
satu orang pun yang tahu, apakah orang lain telah tersesat atau tidak, yang
tahu tentang hal itu hanyalah Allah’. Dengan lain kata, soal sesat tidaknya
seseorang, manusia tiadalah punya otoritas menentukannya. Manusia hanya berhak untuk memohon kepada
Allah, agar diberi petunjuk jalan yang lurus dan tidak tersesat. Hal mana
acap-kali kita bacakan dalam salat: Ihdina
al-sirat al-mustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus).
Jika
sedemikian terangnya Allah SWT telah mendedahkan pada kita; lantas siapalah
kita ini, yang begitu gampang dan lancang menyesat-nyesatkan sesama manusia,
hanya karena tidak sehaluan.
Tetapi
begitulah manusia, ia sering kali jemawa.
Atas nama membela Tuhan mereka merasa berhak memberikan penilaian
terhadap sesamanya. Padahal kata Gusdur, “Tuhan sendiri tidak perlu dibela.”
Bagaimana mungkin manusia makhluk yang lemah harus membela Yang Maha Segalanya?
Atas
nama otoritas itu, maka sering sekelompok manusia berubah menjadi hakim yang
memegang palu. Dan karena itu merasa berhak untuk memutuskan : “apakah satu
kelompok tergolong lurus atau masuk dalam kelompok yang sesat”.
Tetapi
benarkah semua itu atas nama membela Tuhan? Iya, tetapi Tuhan yang mereka
ciptakan, bukan atas nama Tuhan yang menciptakan mereka. Begitu kata Peekay dalam film India yang apik, berjudul “PK”.
Jika
sejenak kita berkenan mengulik sejarah, ternyata sesat-menyesatkan ini tidak
murni persoalan teologi. Sering kali
malah faktor politik yang lebih dominan.
Dalam
sejarah Islam banyak orang atau kelompok yang dimasukkan ke dalam kategori sesat.
Ketika nabi meninggal, dan Islam berada di bawah naungan Khulafaur
Rasyidin, sesat-menyesatkan meramaikan masa itu. Sebutlah bagaimana antara kubu
Ali dan kubu Muawiyah yang saling menyesatkan antara satu dengan lainnya.
Dalam kelompok
Muawiyah didengungkan perkataan yang dinisbahkan pada Nabi: “Orang-orang
yang terpercaya (umanĂ¢) hanya tiga: Jibril, Aku (Muhammad), dan
Muawiyah”. Namun sebaliknya musuh politiknya juga selalu mengangkat perkataan
yang dilekatkan juga pada Nabi: “Kalau kalian melihat Muawiyah di atas mimbarku
bunuhlah”(Baso, 2007).
Sepintas,
sesat-menyesatkan dalam kasus Ali vs Muawiyah, adalah perkara agama, namun jika
dibaca dalam konteks pertarungan perebutan kekuasaan antara kedua kelompok
tersebut, maka hampir pasti, soal sesat-menyesatkan itu murni politik.
Seorang
penyair ternama, Abu Thayyib, tersohor karena syairnya indah menyuarakan
nurani. Namun karena syairnya menyinggung
persoalan kenabian ia pun tertuduh sebagai kelompok sesat. Sejawatnya yang lain
Abu Ishaq an-Nasibi, dan Muhammad Ibn
Zakaria ar-Razi, setali tiga uang dengan nasib Abu Thayyib ini. Mereka menjadi
orang-orang pesakitan yang dikejar-kejar oleh penguasa saat itu.
Jika
kita ingin menambahkan lagi, maka deretan berikutnya adalah al-Hallaj yang mengakhiri nafasnya di tiang gantungan.
Selanjutnya ada Dawud ibn Ali, Ya’qub
ibn al-Fadl, dan ratusan lainnya yang terkena tuduhan zindiq atau sesat
di masa khalifah al-Mahdi dan penggantinya, khalifah al-Hadi (Daulat Abasiyah).
Mereka
yang dituduh zindiq itu harus mengakhiri hidupnya di depan para hakim (qadhi)
terkenal seperti Abd Jabbar al-Muntasib, Umar al-Kaluzi dan Muhammad ibn Isa
Hamdawaihi (Bisri, 2004).
Alasan Penyesatan mereka
memang karena alasan agama atau teologi, tetapi kitab semacam Tarikh al-Tabari, al-Wuzara wa al- Khutab,
dan al-Aghani memberi konfirmasi berbeda. Tuduhan dan penghakiman
terhadap kaum yang digolongkan sesat, mulai dari Abu Thayyib dan lainnya,
tidaklah murni soal agama, tetapi bercampur dengan soal-soal politik (Bisri,
2004). Sang penguasa saat itu
memanfaatkan kesesatan untuk membasmi lawan-lawan politik mereka.
Seorang
tokoh fikih dan penghafal hadist sekaliber Ahmad bin Hambal pun tidak luput dalam tuduhan sesat ini. Pendapat Ahmad bin
Hambal ini sebenarnya bukan hal aneh, tentang Al-Qur’an sebagai kalamullah dan karena itu bukan ciptaan
atau makhluk Allah. Sayangnya saat itu ia berbeda dengan al-Ma’mun, penguasa
dari Abbasiah. Ia-pun kemudian dikenakan hukuman cambuk.
Kasus
Ahmad bin Hambal pun tentunya tak lepas dari persoalan politik. Al-Ma’mun
(memerintah 202-222 H/ 813-833 M) menggelar mihnah atau inkuisisi ini untuk menekan lawan politiknya, salah satunya
adalah Ahmad bin Hambal. Khalifah ini
memilih kasus “al-Qur’an sebagai makhluk” tentu juga karena pertimbangan
politik praktis, demikian diulas Ahmad
Baso dalam tulisan panjangnya Kritik Sejarah Aswaja.
Jika khalifah
saat itu menggunakan soal kebebasan dan tanggung jawab manusia yang menjadi
paham utama muktazilah (ideologi kekhalifaan saat itu), maka akan menjadi
persoalan bagi kekuasaannya. Ia akan menghadapi tuntutan masyarakat untuk
mempertanggung jawabkan tindakannya selama jadi penguasa. Karena itu ia
menggunakan term ‘al-Qur’an sebagai makhluk’ untuk menentukan siapa sesat dan
siapa yang tidak. Term ini dijamin tidak
mengganggu legitimasi kekuasaannya yang saat itu sudah mulai ringkih.
Cerita
yang sama juga terjadi di negeri kita. Siti Jenar tokoh kontroversial dianggap menyalahi pandangan umum kaum muslim yang saat itu
sedang berkuasa. Dia pun dianggap sesat dan akhirnya mengalami nasib, dihukum
mati.
Seirama
dengan cerita sebelumnya, penyesatan
Siti Jenar, demikian Munir Mulkan, lebih
karena soal kekuasaan dan politik saat itu dibanding dengan soal agama. Kelompok Dewan Wali berupaya menguatkan
kembali otoritasnya yang mulai goyah dengan munculnya Siti Jenar dengan
ajaran-ajaran keagamaannya yang berbeda dengan ajaran Dewan Wali. Apalagi di
saat yang sama, kala itu, kekuasaan Demak di bawah Raden Fatah yang dibeking
oleh Dewan Wali, terus di rongrong oleh Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging
yang merupakan sahabat sekaligus murid dari Siti Jenar.
Karena
itu, bagi saya, penyesatan yang muncul hingga hari, sekali lagi tidak bisa sama sekali dianggap murni soal
teologi. Selalu ada soal kekuasaan dan
politik di dalamnya. Persis di titik
inilah, dan sekaligus sebagai penutup,
saya teringat pesan Michel Foucault: “The Will To Power the will to Truth (Kehendak untuk berkuasa
sekaligus kehendak untuk dikatakan Paling benar).
Komentar
Posting Komentar