Mengulik "Haji Bawakaraeng": Cerita dari Kaki Langit
"Panggilan haji
Telah tiba lagi
Menunaikan ibadah
Panggilan Baitullah
Tanah Suci Makkah
Ya Makkatul Mukarramah"
Lagu “Panggilan Haji”, dari grup Kasidah
‘Nasida Ria’ mengalun lembut dari pita kaset radio yang sudah terlihat
kucar-kacir tersebut. Jangan heran, di tempat lain, kasidah bolehlah ditelan
waktu, digilas masa dan ditinggalkan zaman, tetapi di kampungku, kasidahan,
apalagi punya Nasida Ria tetaplah yang terfavorit. Ia hanya bisa
disaingi oleh lagu-lagu dangdut bang Haji Rhoma, Megy Z atau Chaca
Handika. Jika musim haji tiba, lagu “Panggilan Haji” tadi akan
terdengar berulang-ulang dari radio-radio penduduk. Tak jarang malah terdengar
dari pelantang masjid.
Persis
ketika ujung syair lagu “Panggilan Haji” berakhir dari radio yang
ada di ruang tamu itu, lelaki setengah baya di depan saya mengisap dalam-dalam
rokok kawungnya yang terlihat semakin pendek, lalu rokok tersebut berakhir
dengan tergilasnya pelan-pelan di dalam asbak yang ada di atas meja. Sejurus
lelaki berkulit sedikit legam ini termangu-mangu. Semacam mengingat sesuatu
yang nun berada di tempat yang entah ber-entah. Kopiah hitamnya
yang sudah menguning pada masing-masing tepinya dan semula menclok begitu saja
di atas meja, diletakkan lagi di atas kepalanya. Lalu berkatalah lelaki dengan
penampilan bersahaja ini.
“Setiap
mendengar lagu ‘Panggilan Haji’, hati saya selalu berdebar-debar. Boleh jadi
karena rindu pula diri awak ini ingin berkunjung ke Kabah dan mungkin
juga teringat pengalaman-pengalaman saya saat naik ke puncak Bawakaraeng.”
“Naik haji
ke Bawakaraeng?” Pertanyaan saya menyambar cepat. Saya paham betul
lelaki bersahaja di depan saya ini, sering bolak-balik ke Bawakaraeng.
Kebanyakan ia naik pada musim-musim haji, justru ketika sebagian umat Islam
sedang berduyun-duyun menuju Makkah. Tidak ada yang tahu persis apa yang
dilakukan oleh lelaki bersahaja dan orang-orang yang bersamanya di puncak
Bawakaraeng. Tetapi ada sementara kalangan yang menyebut; ‘Si lelaki
bersahaja & berkulit sedikit legam ini naik haji di Bawakaraeng’.
“Dengarkanlah! Saya
akan menuturkan segala sisik melik perjalanan saya ke puncak gunung itu,
terserah nanti engkau menyimpulkannya seperti apa anak muda!”
Kalimat yang sederhana saja, tetapi ibarat mantra, saya langsung
terdiam. Lalu bak tentara siaga satu, saya memasang kuping
baik-baik. Gestur saya jelas memperlihatkan kepadanya, saya sangat
siap mendengar cerita itu.
Subuh masih
merayap-rayap, matahari masih berada di balik selimut dan gelap masih
menyungkupi mayapada. Tetapi dalam suasana gelap dan udara dingin di kampung
itu, lelaki berkulit sedikit legam itu, bersama beberapa sejawat dan sanak
kadangnya telah berjalan menyusuri jalan desa yang berbatu-batu. Sesekali
cahaya senter menerangi jalan yang akan mereka lalui. Rata-rata orang-orang
tersebut berjaket dan menyampirkan sarung di pundaknya. Beberapa orang membawa
tas di punggungnya, sebagian lainnya menenteng bungkusan dari sarung, entah
berisi apa. Mereka berjalan cepat ke arah barat, menerobos gelap dan menyibak
dinginnya subuh yang terasa menusuk-nusuk kulit .
Kurang
lebih tiga jam mereka berjalan, sampailah di kaki gunung Lompobattang. Sejenak
mereka beristirahat. Sebagian bekal mulai disantap. Selanjutnya
berjalan dimulai lagi. Kini mereka sudah mulai mendaki, menyelusuri jalan
setapak, sekali-dua kali menerobos semak belukar. Tak ada kompas petunjuk arah,
tidak ada alat mendaki, pakaian hanya jaket sekenanya untuk melindungi dari
sengatan dingin yang luar biasa.
Mereka memang bukan pendaki, tetapi warga biasa dari kampung itu. Tetapi
mendaki Gunung Lompobattang, selanjutnya menuju ke Bawakaraeng adalah kebiasaan
mereka pada bulan Zulhijah, khususnya menjelang hari raya Idul Adha. Dalam
perjalanan menuju ke puncak gunung, tanpa petunjuk arah, mereka bukannya tidak
pernah tersesat, tetapi di situlah keajaiban sering datang tak terduga.
Suatu waktu mereka kehilangan arah. Barat dan timur jadi kabur, utara-selatan
tak ketahuan juntrungannya, pada saat itulah tiba-tiba seorang lelaki tua entah
dari mana datangnya datang menghampiri si lelaki bersahaja berkulit sedikit
legam itu. Meraih tangannya lalu menuntunnya menuju puncak.
“Siapa lelaki tua itu?”
“Dialah yang tidak bisa disebut namanya anak muda,” Jawab lelaki
berkulit sedikit legam itu.
Bukan
Valdemort tentunya. Tokoh jahat itu hanya ada dalam dongeng Harry Poter. Di
kampungku dan sekitarnya, dia yang tidak bisa disebut namanya adalah Nabi
Khaidir.
Begitu
sampai di puncak, mereka harus menyeberang menuju ke Bawakaraeng, tempat orang
sering melaksanakan salat Idul Adha. Bukan perkara mudah untuk menyeberang ke
lokasi tersebut. Mereka harus melewati jalan sempit yang di atasnya tebing
terjal, sementara di bawahnya adalah jurang yang curam. Angin berputar dari
bawah jurang menyapu ke atas. Mereka melewati jalan setapak yang disebutnya
jalan “siratal mustaqim” itu dengan berbagai cara. Beberapa berjalan
biasa, yang lainnya dengan tertatih-tatih, banyak pula yang harus merangkak.
Ini tergantung dari nyali. Tetapi bagi lelaki berkulit sedikit legam, itu
tergantung keyakinan dan rasa ikhlas.
Pada saat
tiba di satu dataran di salah satu puncak Bawakaraeng, mereka kemudian
menghamparkan tikar. Ada pula yang memasang tenda seadanya. Mereka tidak
mendirikan kemah yang mirip milik para pendaki profesional, tapi hanya tenda
biasa yang dipasang mirip kemah. Mereka ber-‘kemah’ mengelilingi satu tugu batu
yang disebutnya ‘Bakkah’ (mungkin kata itu diambil dari
kata Kabah). Kendati bernama Bakkah, lelaki
berkulit sedikit legam bersama rombongannya tidak menyebut batu itu pengganti
kabah di tanah suci.
“Kalau kami
menyebutnya Bakkah, tak lain itu hanya pancaran kerinduan kami pada
Kabah, tak ada niat untuk mengganti Kabah di tanah suci” Begitu katanya.
Adapun tugu
batu itu, seturut keterangan para pendaki resmi, adalah tanda untuk
mengukur ketinggian puncak gunung Bawakaraeng. Konon dulunya dipasang oleh
kompeni. Tidak ada yang tahu persis bagaimana kompeni meletakkan tugu batu itu
di atas puncak gunung. Cerita yang masyhur, tugu itu dijatuhkan dari atas
pesawat dan dengan perhitungan tertentu bisa menancap tepat di puncak
tersebut.
Malam yang
dingin dilalui dengan rangkaian salat. Mereka salat dalam alam yang terbuka, di
tengah dinginnya udara yang menusuk-nusuk dan dalam keheningan yang begitu
syahdu. Mereka bisa menatap langit begitu dekat. Dalam keheningan yang
mencengkau itu, mereka seakan merasakan kecilnya seorang hamba di hadapan
Tuhannya. Di saat yang sama mereka merasakan kenikmatan spiritual
yang merasuk sukma. Keharuan merambat dalam jiwa, merasuk ke mata hati yang
paling dalam.
Esok hari, ketika matahari sudah muncul sepenggalah, biasanya mereka
melaksanakan salat Idul Adha. Kadang ada khatibnya, tetapi sering pula mereka
hanya salat sunat dua rakaat. Apakah ada tawaf mengelilingi ‘Bakkah’ atau sai, semacam
di Makkah? Tak ada. Mereka memang tidak melaksanakan syariat haji,
sebagaimana syariat haji di Makkah.
Lalu mengapa mereka disebut 'Haji
Bawakaraeng?'
“Saya juga tidak tahu” Jawab lelaki berkulit sedikit legam itu.
“Tetapi apakah ada orang yang sering naik ke Bawakaraeng yang menganggap
ini sama dengan naik haji?” Tanyaku ngotot, mirip intel melayu
yang sedang menginterogasi..
“Soal
pendapat dalam hati orang, manalah saya tahu anak muda, tetapi sejauh ini, saya
bersama rombongan tidak ada yang menyandingkan kebiasaan kami naik
ke Bawakaraeng dengan naik haji ke Makkah. Tetapi dari sisi batiniah, apakah
yang kami laksanakan ini bisa dianggap haji oleh Allah atau tidak? Itu hak
Allah untuk menilainya.
Sepintas
jawabannya terkesan diplomatis, tetapi begitu saya ingat kisah-kisah para sufi
terkait dengan haji, prasangka saya bahwa jawabannya itu sekadar retorika, saya
benamkan dalam-dalam. Bukankah dalam kisah Rabiatul Adawiyah, dia tidak naik
haji ke Makkah, tetapi Kabah yang datang mengunjunginya. Satu tanda bahwa
Al-Adawiyah justru mendapatkan pahala haji melebihi para orang-orang yang
berkunjung ke Makkah. Saya terkenang pula kisah Ali Al-Muwaffaq, ia tak bisa
naik haji karena ongkos hajinya harus diserahkan pada orang yang lebih
membutuhkan. Tetapi justru dialah yang dimimpikan oleh seorang ulama besar
yaitu Abdullah Ibnu Mubarak, bahwa Ali Al-Muwaffaqlah satu-satunya yang
diterima hajinya.
Ingatan
saya buyar seketika, manakala lelaki berkulit sedikit legam ini
melanjutkan penjelasannya.
“Sebagian
ada yang dari tanah suci, naik lagi ke Bawakaraeng. Tanggapan orang luar,
mereka menyempurnakan hajinya. Padahal dari pengalaman saya bertemu dengan
orang-orang tersebut mereka sedang melepas nazar. Mereka telah berjanji akan
naik ke Bawakaraeng melakukan salat Idul Adha, jika pulang dengan selamat dari
tanah suci. Bukankah janji harus ditunaikan anak muda? Lelaki berkulit sedikit
gelap itu menutup penjelasannya dengan nada tanya, meski jelas pertanyaannya
itu tidak membutuhkan jawaban.
Kembali ke
pertanyaan semula, mengapa mereka digelari 'Haji Bawakaraeng?'
Gelar itu
ternyata pertama-tama muncul dari orang-orang dari luar komunitas yang sering
naik melakukan ritual ke Bawakaraeng. Dalam perkembangannya gelar
itu sering disebut ulang oleh berbagai media, bahkan peneliti. Pada awalnya
gelar haji Bawakaraeng disematkan orang luar sebagai bentuk ejekan terhadap
perilaku komunitas Bawakaraeng ini. Gelar itu stereotip dan bermakna
peyoratif. Istilah itu seakan memersilkan tuduhan perilaku yang
sesat.
Komunitas
Bawakaraeng sendiri lama kelamaan malah menangkap identitas yang peyoratif
ini. Haji Bawakaraeng dijadikan identitas dengan makna
baru; “Haji Bawakaraeng berarti orang yang mencari tempat yang paling
tepat untuk menunjukkan dirinya sebagai hamba, karena belum sanggup ke tanah
suci”, “Haji Bawakaraeng juga berarti sebuah perjalanan untuk
menunjukkan keikhlasan dan keyakinan.” Yang lain memaknai haji
Bawakaraeng semacam uzlah (menyepi untuk dekat dengan Sang
Maha Kuasa). Apapun pemaknaan komunitas ini atas Haji Bawakaraeng, yang pasti
mereka telah mengubahnya menjadi sesuatu yang bermakna positif.
Boleh
dikata, jika merujuk pada Imanuel Castells (2003) apa yang dilakukan oleh
komunitas (haji) Bawakaraeng itu adalah resistance of identity atau
resistensi identitas. Hal ini muncul setelah sebelumnya kelompok di luar mereka
melakukan semacam legitimizing of identity, yakni penyematan satu
identitas yang terkesan peyoratif. Komunitas Bawakaraeng yang tadinya
dikonstruksi identitasnya sebagai sebuah ejekan, melakukan semacam resistensi
dengan membentuk makna baru pada identitas yang dilekatkan tadi. Pada akhirnya, terjadi
semacam pembacaan ulang dan pembentukan identitas baru dari apa yang dibangun
sebelumnya oleh kelompok dominan.
Kalau
demikian, komunitas yang sering naik ke Bawkaraeng tidaklah
sungguh-sungguh, ingin mengganti haji ke Makkah dengan mencari jalan pintas ke
Bawakaraeng. Haji Bawakaraeng tak lain hanyalah permainan
bahasa. Ia bisa pula disebut sebagai mimikri. Apa
itu? Mimicry is thus the sign of a double articulation; a complex
strategy of reform, regulation and discipline, which appropeiates the Other as
it visualizes power”. Begitu penjelasan Homi Bhaba
(1997) & tak perlu saya terjemahkan, saya takut salah (he..he..). Lagi
pula anda yang membaca mungkin lebih paham terjemahannya.
Begitulah, pada akhirnya saya sampai pada kesimpulan (sementara), tidak
ada yang berhaji ke Bawakaraeng. Kalau soal mereka yang beribadah di atas
puncak Bawakaraeng itu diganjar setimpal dengan pahala haji,
siapalah saya yang bisa menghalangi hak prerogatif Allah.
(Catatan;
Nama dan kampung “Lelaki Berkulit Sedikit Legam,” sengaja tidak disebutkan
dalam tulisan ini)
Komentar
Posting Komentar