LIA EDEN , ALIRAN SEMPALAN & KITA YANG MEMPERTUHANKAN AGAMA

 Ijhal Thamaona


Siapa yang tidak kenal Lia Eden? Kalau pertanyaan itu dilontarkan saat ini, mungkin banyak yang akan mengancungkan jari. Iya, wanita kontroversial itu beritanya sudah tertimbun berbagai isu yang muncul belakangan dan tak kalah polemisnya. Tetapi dulu, di seputar tahun 2000-2005, ketenarannya pernah membumbung langit.  Hal itu terjadi, ketika wanita yang bernama asli Lia Aminuddin, pimpinan Sekte God's Kingdom Eden, pernah mengaku Jibril dan berniat membubarkan semua agama. Publik segera saja dibuatnya tersentak, macam penggemar Real Madrid yang menyaksikan klub bolanya dibantai tim semenjana.

Lia Eden kini betul-betul telah tertimbun dalam arti sebenarnya. Ia telah berkalang tanah pada Jumat 9 April 2021. Konon ia tidak dikebumikan, tetapi dikremasi, jadi istilah berkalang tanah kurang tepat ya? ( Ahsudahlah, itu istilah saja he..heYang pasti ia telah meninggal dunia).

Lia Aminuddin sejatinya terlahir sebagai Muslimah. Seperti anak-anak Muslim yang lain ia berkembang dalam  didikan dan tradisi keislaman. Tidak pernah ada yang menyangka bahwa kelak di kemudian hari ia akan mengaku mendapat wahyu dari Jibril, atau dalam kesempatan lain menasbihkan dirinya sebagai Bunda Maria, dan pada akhirnya belajar agama secara perenial. Jadilah akhirnya Lia Aminuddin, yang lebih dikenal dengan Lia Eden ini penganut Islam, Kristen, dan Buddha sekaligus. Bahkan mungkin juga masih ditambah  dengan agama lainnya.

Dalam buku yang dirilisnya: 'Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah Takdir', Lia Eden mengaku ajarannya sebagai agama baru yang bernama ‘Salamullah, sebuah agama yang lahir dari perenungan perenialnya.

Fenomena ini sebenarnya bukan khas Lia Eden belaka. Jika kita menelusuri pengalaman spiritual orang-orang yang menyebut dirinya sebagai pemeluk sekte new age, hal serupa akan kita jumpai.  Hal ini, misalnya, dapat kita lihat dari pengalaman seorang pemeluk new age,  Shirley MacLaine, yang dituliskannya dalam buku Out On a Limb. Juga tergambar dalam “Aquarian Conspiracy, karya Marilyn Ferguson.

Kemunculan orang seperti Lia Eden, Shirley MacLaine, sekte Gafatar dan semacamnya, memang mengguncang kemapanan beragama umat manusia dan karena itulah mereka disebut kelompok-kelompok yang menyempal. Dalam negara Indonesia yang menganut aturan blasphemy, sekte-sekte semacam itu jelas akan dianggap menodai agama. Sudah pasti mereka akan dibubarkan dan bahkan mungkin ditangkap seperti yang terjadi pada Lia Eden.

Namun di tengah kejanggalan  cara bertuhan orang semacam Lia Eden dan lainnya, ada satu hal yang menarik menjadi catatan, yaitu kritik terhadap cara umat beragama, khususnya dalam Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha dan Konghucu memperlakukan agama.  Para New Age itu memandang, cara beragama umat agama-agama besar tersebut pada dasarnya terlalu melebih-lebihkan institusi agamanya, hingga pada akhirnya terjatuh pada penyembahan agama  itu sendiri.

Sikap mempertuhankan agama inilah yang dianggap sebagai biang kerok permusuhan antara agama selama ini. Kita membela mati-matian agama kita, menjaga kebesarannya agar melampaui yang lain hingga melupakan ajaran yang paling mendasar dari Tuhan, yaitu cinta.  Pada titik yang paling jauh, kita bahkan melupakan Tuhan dan hanya menjadikan agama sebagai puncak dari spiritualitas itu sendiri.

Itulah mengapa orang semacam Lia Eden mengajak pengikutnya untuk ramai-ramai keluar dari agama Islam, Yahudi, Kristen, Katolik, Hindu dan seterusnya, karena agama dianggap telah dibentuk menjadi Tuhan oleh pengikutnya.  Dalam agama semacam itu, kita tidak akan menemukan lagi, sebagaimana dikatakan Neale Donald Walsch dalam Conversation with God, prinsip-prinsip keimanan yang bisa menghindarkan bumi dari kehancuran.

Taruhlah, Lia eden dan sektenya memang sesat, tetapi jika ada kritiknya yang masuk akal, kita tidak harus membuangnya bukan? Dengan demikian, kritik terhadap agama atau tepatnya kritik terhadap cara kita memberlakukan agama yang dilakukan oleh Lia Eden, tidak ada salahnya menjadi bahan refleksi kita.  Tetapi dengan catatan, saya tidak setuju bila  harus membubarkan agama. Mengapa ? Sebab, nyatanya Lia Eden dan pengikutnya yang mendeklarasikan pembubaran agama, toh pada akhirnya juga membentuk agama baru yang bernama salamullah atau sekte yang kemudian dikenal dengan God's Kingdom Eden.

Setelah membentuk agama atau sekte baru, Lia Eden dan pengikutnya menunjukkan paradoks yang lain, yaitu ketika Lia Eden sedang merobohkan kultus pada agama, tepat pada saat yang sama ia membangun pemberhalaan yang lain, yaitu pada sekte yang dibangunnya. Ia meruntuhkan kecenderungan pemujaan agama, tetapi membangun tagut-tagut yang lain, termasuk pengkultusan yang berlebihan pada dirinya yang dianggapnya bayangan Jibril di muka bumi.

Maka meruntuhkan agama yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul Allah, sejatinya bukanlah solusi menghentikan pemujaan terhadap agama itu sendiri. Lantas bagaimana kita menghindari pemberhalaan agama tersebut?  Tak mudah menjawabnya, dan barangkali juga jawabannya tidak tunggal, tetapi salah satunya, saya ingin mengatakan: “untuk menghindari pemujaan institusi beragama secara berlebihan, kita justru harus masuk ke jantung agama itu sendiri, alih-alih  merobohkannya. Lampaui cara beragama yang merupakan konstruksi manusia, yang kebanyakan lebih menonjolkan syiar di banding spirit, mendahulukan kulit dari pada isi. Temukan kenikmatan mencari keindahan Sang Pencipta, melalui berbagai ritual esoteris yang terdapat dalam setiap agama.

Selain itu agama telah menjauhkan kita dari orbit spiritual pada Tuhan karena pengaruh materialisme dan kapitalisme.  Dan sayangnya,  kita terlena dan nyaman dengan  hal itu. Itulah sebabnya mengapa Rudnyckyc (2009), meyebutkan, agama  telah menjadi sekutu yang baik dengan materialisme dan kapitalisme. 

Coba  kita bayangkan saat melakukan ritual tertentu, haji misalnya. Ketika berada di hadapan Kabah, dengan pakaian ihram yang serba putih, dengan seluruh pikiran tumpah pada Sang Pencipta, ketika kita merasakan bahwa ritual ini ibarat sebuah bayangan kematian, pada saat itulah seluruh yang berbau material tersisih. Yang tersisa adalah kesyahduan di hadapan Sang Ilahi. Di titik itulah, kita tengah berada di jantung agama.

Tetapi begitu kita bergeser beberapa jenak saja dari sekitar Kabah, maka seluruh kehajian kita segera dikepung oleh semua yang serba materialis. Kita segera terlempar dari orbit kesyahduan di hadapan Tuhan menuju dunia agama yang telah dikonstruksi oleh materialisme. Tentu hal ini tidak hanya terjadi dalam haji dan ritual orang Islam, hal serupa juga kita bisa jumpai dalam ritual-ritual agama lain.

Rupanya, untuk kembali pada penyembahan Tuhan yang hakiki, maka agama harus dikembalikan sebagai jalan spiritual. Agama bukan tujuan, hanya jembatan. Tetapi bukankah agama selama ini menjadi tujuan, karena ia sudah dikuasai dan dibentuk sedemikian rupa oleh materialisme-kapitalisme. Keduanya-lah yang mengajak kita mempertuhankan agama, yang pada hakikatnya tak lain adalah mengajak kita mempertuhankan dirinya (materialisme dan kapitalisme itu sendiri).

Agama-agama yang sudah ada, dengan demikian, tidak harus dirobohkan, tetapi justru harus dikembalikan pada khitahnya sebagai jalan untuk mencari Tuhan. Ia harus menjadi sarana, bukan tujuan. Bukankah Rabiahtul Adawiah, justru didatangi Kabah dan bertawaf mengelilinginya? Ketika ditanya, “mengapa hal itu terjadi?” Rabiahtul Adawiyah menjawab, sebab dalam hatiku yang ada hanya Pencipta-nya, bukan ciptaan-Nya.

 

 

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anak Miskin Jadi Sarjana: Bukan Keajaiban, Tapi Tanda Gagalnya Sistem Pendidikan

Piagam Menara Gading

Ritual Mappeca Sure (Bubur Asyura); Tak Sekadar Memperingati Tragedi