Kegetiran di balik Wisuda Siswa dan Sumbangan 'Sukarela' Sekolah
Saya tetap datang meski acara telah berada di
penghujung. Wajah semringah sang putri dan semangatnya untuk hadir bak serdadu
yang mau merangsek ke markas musuh, membuat saya tak tega. Saya datang demi
melihatnya tersenyum di atas panggung, meski hanya sekejap. Dan di atas segalanya
ini adalah tentang rasa syukur. Maka
hadirlah saya tepat ketika semua orang beranjak meninggalkan tempat duduknya.
Acara itu adalah wisuda bagi santri TPA yang telah menuntaskan dirasa al-Qurannya.
Sudah lama saya bertanya-tanya, mengapa wisuda
anak-anak itu kini menjadi penting dan terkesan genting jika tak digelar.
Padahal tradisi ini awalnya hanya dikenal bagi mahasiswa yang telah menamatkan
kuliahnya. Sekarang bahkan anak TK yang belum tahu membuang ingus pun
ikut-ikutan diwisuda. Saya merasa semakin janggal karena tradisi itu juga
menjangkiti pendidikan al-Qur'an. Di antara TPA itu bahkan selama ini dikenal
alergi meniru tradisi di luar Islam. Padahal asal tahu saja, wisuda dengan
segala simbol-simbolnya berasal dari tradisi Romawi dan Yunani lalu
dikembangkan dalam lingkungan gereja.
Alasan memang terasa mulia; memotivasi anak, membangun
rasa percaya diri, dan memberi momen kebanggaan untuk orang tua. Tapi sadar
atau tidak, di balik kebanggaan itu ada anak-anak yang dikurung murung dan
tersisih dalam sedih. Mereka adalah anak-anak yang terpaksa tak bisa turut
serta. Tak sanggup orang tuanya membayar biaya wisuda yang bagi mereka sulit
dan tak terjangkau. Bagi orang-orang kelas atas, biaya itu mungkin bukanlah
apa-apa, tak lebih banyak dari uang jajan anaknya saban hari. Tetapi bagi mereka
yang selama ini berada dalam lembah kemelaratan, biaya wisuda amatlah berarti.
Mereka harus menghitung beberapa kali harga makan sehari-hari yang harus
dihemat untuk mengumpulkan biaya itu. Jika selama ini sudah harus mengikat
pinggang erat-erat, maka ditambah pembayaran listrik, air, ini dan itu, lalu
datang lagi biaya wisuda, maka bisa jadi ususnya pun harus dibebat.
Adanya pembayaran itu mau tidak mau membuat kita
ingin mengorek sesuatu di balik panggung perhelatan wisuda tersebut.
Jangan-jangan di balik kebanggaan yang ditebar, ada motif ekonomi sedang
disusun. Saya tak ingin berhitung ya, tapi coba saya bayangkan berapa sewa baju
wisuda, pembayaran katering dan segala tetek bengek wisuda itu. Kira-kira siapa
untung dan siapa buntung di sini?
Tapi apakah dengan demikian tak perlu merayakan
kelulusan sang anak? Tentu saja boleh. Apalagi jika dimaksudkan sebagai rasa
syukur pada Allah dan berterima kasih pada sang guru. Tetapi tentu tanpa ada
yang terbebani sekaligus tersisihkan. Di kampung ada tradisi menamatkan
al-Qur'an yang digelar secara sederhana dan khidmat, Pakkanre Tamma namanya.
Anak yang tamat datang ke gurunya membawa apa yang ada pada mereka. Pisang,
kelapa atau ayam. Kemudian bersama-sama makan di rumah guru dan diakhiri dengan
doa tamat membaca al-Qur'an. Pakkanre Tamma bisa ditunda dan diulur waktunya.
Kadang nanti mau menikah baru dilakukan. Dirangkaikan dengan acara pernikahan,
biayanya bisa dihemat.
Yang menjadi kegelisahan lebih luas lagi, praktik
membebani orang tua dengan berbagai biaya tidak hanya terjadi saat wisuda.
Kini, sekolah-sekolah juga kerap menyelipkan beragam kegiatan yang biayanya
harus ditanggung sepenuhnya oleh wali murid. Kegiatan keagamaan, infaq untuk
membeli alat ajar, sumbangan per lomba, seragam kegiatan, bahkan kebutuhan
administrasi yang seharusnya bisa dibiayai dari anggaran pendidikan. Kadang-kadang memang diselipkan kata-kata 'sukarela', 'yang mau saja', tetapi dalam praktiknya tidak sesederhana itu. Murid atau siswa dalam relasi kuasa ini berada dalm posisi inferior. Mereka merasa cemas untuk tidak ikut serta. Orang tuanya pun didesak agar ikut urunan. Situasi ini telah membangun budaya yang kurang sehat di sekolah. Siswa yang tidak bisa terlibat atau tidak ikut menyumbang 'ini itu' padahal mungkin tidak mampu, tersisih. Temannya yang lain bisa mencibirnya tak kompak. Belum lagi jika guru pun mulai menempatkannya sebagai murid/siswa yang tak masuk hitungan gara-gara tak terlibat dalam berbagai even. Dalam sistuasi semacam itu murid bersangkutan akan merasa semakin tidak nyaman, lingkungan sekolah mulai menjepit jiwanya. Ironisnya,
ini terjadi di saat anggaran pendidikan nasional terus meningkat tiap tahun, dan
seruan efisiensi keuangan digaungkan di berbagai lini.
Padahal jika kita kembali pada amanat konstitusi,
pendidikan dasar mestinya dijamin oleh negara dan tak menjadi beban bagi rakyat
kecil. Ketika segala sesuatunya diminta dari kantong orang tua, apakah ini
bukan sebuah tanda bahwa sistem telah melimpahkan tanggung jawabnya pada yang
paling tak berdaya?
Kita sedang hidup di masa sulit. Semua orang diminta
berhemat. Tapi beberapa sekolah dan lembaga pendidikan justru makin rajin
membuat kegiatan yang membebankan biaya pada orang tua siswa. Di mana kepekaan
itu? Bukankah semestinya dunia pendidikan jadi tempat paling pertama yang
belajar tentang empati?
Di era di mana kita sedang dianjurkan untuk berhemat
dan hidup lebih efisien, tradisi wisuda—dan berbagai praktik pungutan atas nama
sumbangan dan lainnya—mungkin sudah waktunya direvisi. Sekolah seharusnya
membuat semua anak bisa mengecap pendidikan dan merayakan kelulusan tanpa harus
khawatir tentang biaya. Mungkin sudah waktunya kita memprioritaskan kebahagiaan
dan kesetaraan semua anak, daripada mempertahankan tradisi yang hanya membuat
kesenjangan makin melebar.
Anak-anak adalah titipan bangsa. Hari depan ada di tangan mereka. Kita harus memastikan bahwa mereka semua memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan merayakan kesuksesan. Tidak ada anak yang harus merasa tersisih. Semua anak, tanpa kecuali, pantas merayakan kelulusan mereka dengan bangga dan bahagia.
melainkan ruang tumbuh penuh cita.
Bukan gedung megah penuh kasta,
tapi taman bermain bagi jiwa-jiwa merdeka.
Di sana ilmu dibagi dengan cinta,
oleh mereka yang tulus menjaga asa.
Tak ada murid yang merasa hina,
karena suara, rupa, atau tanpa harta.
Buku dan papan bukan milik segelintir saja,
tapi untuk semua yang haus makna.
Pendidikan bukan ladang usaha,
melainkan titipan luhur bangsa yang mulia.
Semua anak duduk setara,
tanpa pungutan yang membungkam rasa.
Tak ada pesta untuk yang kaya,
sementara yang miskin menahan air mata.
Sekolah harus jadi rumah yang ramah,
tempat tawa dan harapan menjelma indah.
Tempat anak pulang dengan bahagia,
bukan beban yang menyiksa dada.
Komentar
Posting Komentar