Islam Nusantara dan Sisik Melik Halal bi Halal
Ijhal Thamaona
Suatu ketika, kala isu Islam Nusantara sedang hangat-hangatnya, salah seorang perundungnya menyerang dengan sengit wacana ini. Kalimatnya menyengat dan pertanyaan-pertanyaannya nyelekit. Salah satu kalimat dari perundung itu bunyinya begini: “seharusnya para pendukung Islam Nusantara, memboikot Arab, kan Islamnya bukan Islam dari Arab, tetapi Islam Nusantara.”
Tentu saja ini pernyataan serampangan, sebab Islam Nusantara
sebagai sebuah diskursus sama sekali tidak anti Arab. Hanya saja, Islam
Nusantara berupaya meletakkan antara ajaran Islam dan kebudayaan Arab secara
tepat dalam konteks kenusantaraan. Pokok ajaran Islam yang disampaikan Nabi
Muhammad SAW di Tanah Arab, lalu menyebar sampai ke Nusantara tentu akan
berusaha dijaga keorisinalannya. Sementara ekspresi keislaman yang telah banyak diwarnai dengan kebudayaan,
itulah yang dinusantarakan.
Islam Nusantara, dengan demikian, tidak menyentuh fundamental
doctrine, seperti Rukun Islam, Rukun
Iman, dan Ibadah Mahdah yang telah jelas ketentuannya. Islam Nusantara hanya
menyentuh ruang yang memang mungkin mengalami perubahan karena ruang dan waktu.
Meminjam istilah Ali Ahmad Said
(tersohor dengan nama Adonis),
seorang penyair dan pemikir Arab kontemporer, dalam tradisi pemikiran Islam ada
Ats-Tsabit dan di seberangnya lagi ada al-Mutahawwil. Yang pertama adalah yang
mapan (tetap) dan yang kedua adalah yang dinamis (berubah). Islam
Nusantara menyentuh hal-hal yang
bersifat al-mutahawwil tersebut.
Sekadar catatan, Adonis sendiri tidak menjadikan Rukun Islam,
Rukun Iman dan seterusnya sebagai contoh dari Ats-Tsabit. Adonis sendiri bahkan
menyebutkan, apa yang mapan tidak selamanya statis, demikian pula yang dinamis
tidak seluruhnya berubah. Penggunaan istilah Adonis tersebut semata ingin
menunjukkan bahwa ruang yang mapan dalam pemikiran Islam, kendati masih mungkin
berubah, tetapi tetap tidak disentuh dalam diskursus Islam Nusantara. Jadi tidak perlu khawatir Islam Nusantara
akan mengubah Islam yang dirisalahkan oleh Rasulullah.
Kita telah sering mendengar istilah, al-Islam shalihun li
kulli zaman wa makan. Itu artinya Islam bisa mengalami kontekstualisasi sesuai
perkembangan zaman dan perubahan tempat. Islam Nusantara adalah bentuk
kontekstualisasi tersebut. Salah satu
contohnya dan yang kini kita masih dalam suasana tersebut adalah “halal bi
halal.”
Halal bi Halal; Islam Nusantara yang Berbahasa Arab
Tradisi halal bi halal tidak dikenal di Arab, termasuk di
Makkah dan Madinah tempat Islam pertama kali tumbuh dan berkembang. Tidak hanya
tradisinya yang tidak dikenal, istilahnya pun, meski berbahasa Arab, tetapi
tidak ditemukan dalam kosa kata Arab.
Kendati demikian substansi dari halal bi halal, yakni bersilaturahmi dan
saling memaafkan adalah ajaran penting dalam Islam.
Al-Quran maupun Hadis secara terang-terangan memerintahkan
orang untuk memberi maaf dan membangun silaturahmi. Momen untuk melakukan itu
bisa kapan saja. Tetapi ada momentum yang paling pas, yakni setelah bulan
Ramadhan dan setelah kita merayakan Idul Fitri. Untuk melengkapi kelahiran
kembali manusia sebagai makhluk yang fitrah setelah menyelesaikan Ramadhan,
maka segala persoalan dengan sesama manusia harus diselesaikan. Kesalahan pada
manusia dan makhluk lain perlu dimohonkan maaf. Silaturahmi harus kembali
bertaut.
Ajaran inti Islam soal silaturahmi dan maaf memaafkan dan
momentum untuk melakukannya setelah Idul Fitri inilah yang ditradisikan oleh
para ulama-ulama Nusantara melalui halal bi halal. Ahmad Baso,
menyatakan bahwa halal bi halal sudah dilakukan sekitar tahun 1700 di
Masjid Kauman Japara. Adalah Pangeran
Karang Kemuning atau dikenal juga dengan nama Pandita Atas Angin/Sunan Atas
Angin yang melakukan halal bi halal tersebut. Sunan Atas Angin sendiri adalah
menantu Sunan Ampel. Ia menikah dengan putri Sunan Ampel yang bernama Nyai Gede
Panyuran
Menurut intelektual NU yang concern menelusuri naskah-naskah
(Islam) Nusantara tersebut, istilah halal bahalal telah ada pada naskah naskah
primer Wali Songo, berdasarkan riwayat Sultan Hasanuddin Banteng dalam Babad Cirebon kode CS 114 PNRI,
halaman 73. Dalam naskah itu
disebutkan: “Wong Japara sami hormat
sadaya umek Desa Japara kasuled polah ing masjid kaum sami ajawa tangan
(berjabat tangan) sami anglampah HALAL BAHALAL sami rawuh amarek dateng
Pangeran Karang Kamuning,” tulis Ahmad
Baso dalam salah satu postingannya, Senin (1/3/2021).
Temuan Ahmad
Baso ini penting. Hal itu menunjukkan bahwa halal bi halal telah jauh mengakar
ke belakang dalam tradisi kita. Halal bi halal bukanlah hal baru, tetapi
tradisi yang dibentuk oleh para Wali penganjur Islam awal. Dengan menunjukkan
adanya catatan naskah tersebut, kita tidak perlu meributkan lagi soal keabsahan
halal bi halal ini dalam Islam, sebab yang mentradisikannya adalah wali. Temuan
ini juga sekaligus menunjukkan bahwa halal bi halal ini adalah ijtihad ulama
Nusantara dalam menerapkan perintah maaf memaafkan serta silaturahmi dalam
ajaran Islam.
Dalam Dokumen Suara Muhammadiyah 1924, dalam salah satu artikelnya telah memuat kata chalal bi chalal. Sementara pada tahun 1926, Majalah Suara Muhammadiyah edisi 1 Syawal 1344 (1926) mengumumkan soal halal bi halal yang saat itu ditulis alal bahalal. Saat itu model halal bi halal yang dikembangkan oleh Muhammadiyah setelah Idul Fitri adalah dengan saling berkirim surat yang berisi saling permohonan maaf. Ada pun isi dalam majalah Muhammadiyah 1926 itu tidak lain adalah iklan, di mana Muhammadiyah menjadi semacam agen untuk mengirimkan surat-surat tersebut. Kata Halal bi halal yang disebut alal behalal juga terdapat pada Kamus Jawa-Belanda karya Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (1938). Kamus yang disusun Pigeaud sejak 1926 ini, merupakan kamus yang digunakan oleh orang Belanda maupun Jawa.
Halal bi halal ini adalah salah satu bukti bagaimana
masyarakat Nusantara mengekspresikan Islam dengan membuat suatu tradisi
sendiri. Ekspresi Islam semacam ini tidak ditemukan di tempat lain, ia khas
Nusantara. Itulah salah satu bukti adanya satu tradisi sendiri, bukan berasal
dari Arab, yang digunakan dalam kerangka menjalankan Islam.
Bolehkah hal semacam itu dilakukan? Kalau merujuk pada hadis
Nabi Muhammad SAW yang bunyinya: “Apa yang dipandang baik bagi mayoritas umat
Islam (di satu daerah) maka dipandang baik pula oleh Allah,” maka tidak ada
alasan untuk menolak halal bi halal ini.
Apalagi halal bi halal ini telah menjadi semacam tradisi dan ilmu yang diwariskan dari wali, ulama dan dari generasi ke generasi. Kata Imam Syafii dalam kitabnya al-Umm Jilid 7, 246:
“Ma min biladil-muslimina baladun illa wa-fihi 'ilmun qad shara ahluhu ila 'ttiba'i qauli rajulin min ahlihi fi aktsari aqawlihi". (Di setiap negeri umat Islam itu ada ilmu yang dijalani dan diikuti oleh penduduknya, dan ilmu itu kemudian menjadi pegangan para ulamanya dalam kebanyakan pendapatnya).
Satu hal lagi, dan saya rasa perlu digaris bawahi, khususnya
bagi yang selama ini menganggap Islam Nusantara anti Arab; Halal bi halal adalah wujud nyata dari praktik Islam
Nusantara yang tidak anti Arab. Tengoklah istilahnya sendiri, bukankah halal bi
halal itu berbahasa Arab?
Komentar
Posting Komentar