Imsak, Mudik, Halal bi halal dan Islam Nusantara
Ijhal Thamaona
Saban
Ramadhan dan Idul fitri, kita menyaksikan rupa-rupa tradisi khas umat Islam di
Nusantara. Sebagiannya adalah ijtihad para ulama dan beberapa yang lainnya
adalah kebiasaan muslim Nusantara yang akhirnya menjadi tradisi. Salah satu
bentuk ijtihad ulama kita adalah adanya waktu imsak sepuluh menit sebelum fajar
menyingsing. Anda cari di negeri muslim mana pun tak ada yang demikian, ini
khas Islam di Nusantara (Indonesia).
Imsak
artinya adalah menahan. Dalam konteks puasa pada bulan Ramadhan maka imsak
adalah waktu untuk menahan diri tidak makan, minum, berhubungan suami istri dan
menahan diri dari larangan lainnya dalam berpuasa. Kata ini dari bahasa Arab,
tetapi menjadi istilah tersendiri, murni hanya di Nusantara. Ulama Nusantaralah
yang menemukan istilah tersebut dan menjadikan semacam tradisi bahkan ajaran.
Dalam
aturan fikih, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW, menahan diri untuk
tidak makan dan minum, dimulai saat terbit fajar dan berakhir pada waktu
terbenam matahari. Sejatinya itulah waktu imsak. Tetapi mengapa ulama nusantara
memajukan 10 menit lebih awal? Apakah dengan demikian para ulama Nusantara
telah menyelisihi ajaran Rasulullah?
Tentu
saja tidak! Waktu imsak yang dimajukan 10 menit lebih awal sama sekali tidak
diikuti larangan untuk makan dan minum. 10 menit lebih awal itu hanya waktu
kehati-hatian. Jika saat itu Anda baru makan dan minum, maka silakan lanjutkan
tapi dengan memperhatikan waktu, sebab 10 menit lagi fajar akan menyingsing.
Waktu imsak menjadi semacam ajaran kehati-hatian dari ulama kita dalam
melakukan salah satu ibadah yang penting. Dalam bahasa Bugis, sikap ini disebut
manini, sikap hati-hati yang menjadi ciri khas ulama Bugis dan saya kira
juga ciri dari seluruh ulama Nusantara. Adanya waktu imsak juga menunjukkan
adanya perhatian dari ulama dan pemerintah Indonesia terhadap kesempurnaan
ibadah puasa umat Islam.
Imsak
pada akhirnya menjadi semacam aturan fikih yang khas Nusantara. Dalam hal ini
ulama mendasarkan dirinya pada hadis Rasulullah Saw riwayat Ibn Masʻūd;
ما
رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
"Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di
sisi Allah hal tersebut juga merupakan hal yang baik"
Itulah
salah satu contoh Islam Nusantara. Selanjutnya kita bergeser ke tradisi lain,
yaitu mudik. Tradisi ini terjadi menjelang Idul Fitri. Orang-orang ramai-ramai
balik ke kampung halaman untuk berjumpa dengan sanak dan kadang. Istilah mudik
tentu saja tidak akan ditemukan di fikih dan tidak juga bisa disaksikan di
negeri muslim yang lain. Tetapi kendati demikian, tradisi ini bukan tanpa
dasar. Mudik tetap berpijak pada nilai yang Islami, yaitu silaturahmi. Pada
hakikatnya mudik tidak lain adalah upaya untuk kembali merajut tali silaturahmi
dengan handai tolan. Mudik dimaksudkan untuk membangkitkan lagi ingatan tentang
tanah dan leluhur. Dengan mudik pula kita diajarkan untuk melawan lupa terhadap
tradisi leluhur kita yang baik serta mengajak kita untuk tetap mencintai tanah
kelahiran.
Mudik
dengan demikian adalah implementasi dari bermasyarakat. Istilah bermasyarakat
atau masyarakat itu sendiri adalah temuan ulama Nusantara untuk menggambarkan
relasi sosial orang-orang yang bermukim di Nusantara. Istilah masyarakat ini diambil dari kata
musyarakah. Istilah ini berasal dari Arab, tetapi praktik musyarakah
sendiri telah hidup sejak lama dalam sistem sosial ekonomi masyarakat
Nusantara. Di Jawa dikenal dengan nama magersari. Sistem ini,
sebagaimana diceritakan dalam serat Centini, dikembangkan oleh seorang kiai
bernama Kiai Syekh Bayi Panutra (Baso, 2015). Sementara di kampung saya, salah
satu daerah di Sulsel, disebut attesang.
Dalam sistem masyarakat, orang-orang tidak hanya memiliki hak individu
yang harus dihormati, sebagaimana dalam pengertian citizens, tetapi juga
individu-individu yang terikat satu sama lain. Individu-individu tersebut
saling merasa dan saling berempati. Dalam masyarakat Bugis-Makassar dikenal
dengan saling memiliki rasa siri na pesse (harga diri dan rasa empati),
saling sipakainge (satu sama lain saling mengingatkan) dan saling sipakalebbi
(satu sama lain saling menghargai).
Konstruksi
sosial dalam konsep masyarakat ini melampaui konsep citizen (warga) dan
komunisme dalam masyarakat barat. Bahkan juga melampaui sistem kewargaan di
masyarakat Arab yang masih mengenal konsep warga muslim dan kafir. Kafir dalam
sistem kewargaan Arab dibagi lagi menjadi kafir muahad, kafir musta'man,
kafir dzimmi, dan kafir harbi. Dalam konsep kewargaan di
Indonesia, begitu kita menjadi masyarakat, maka serentak dengan itu tidak ada
lagi istilah muslim dan kafir, semua orang harus dihormati haknya dan sekaligus
semua orang berada dalam satu ikatan kekeluargaan (yang sama memberi dan sama
merasa).
Dari
sini terang kita saksikan bahwa mudik tidak hanya sekedar tradisi muslim
nusantara, tetapi lebih dari itu mudik ternyata merujuk pada satu konsep
genuine yang ditemukan oleh ulama Nusantara, yakni masyarakat. Karenanya ketika
ada ungkapan bercanda di media sosial melalui meme: "Setinggi apapun
sekolahmu kembalilah ke kampung mengikat buras" sembari ketawa saya
menanggapinya sebagai bagian dari perwujudan konsep masyarakat ini.
Setelah
lebaran Idul Fitri dalam masyarakat muslim Nusantara juga dikenal istilah halal
bi halal. Lagi-lagi istilah dalam bahasa Arab, tapi tidak dikenal oleh
orang-orang Arab. Istilah ini pun murni temuan ulama-ulama Nusantara dan juga
hanya ditradisikan di Nusantara. Halal bi halal dalam arti harfiahnya
adalah saling menghalalkan. Dengan kata lain halal bi halal adalah ajang
saling memaafkan kesalahan antara satu sama lain. Ajaran ulama ini tentu saja
didasarkan pada ajaran Islam, yaitu tentang pentingnya untuk meminta maaf dan
mulianya orang yang bisa memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya. Ada
banyak sekali ayat dan hadis Nabi yang memerintahkan memberi maaf,
sampai-sampai dikatakan bahwa Islam itu adalah “Agama Pemaafan.”
Ajaran
Islam tentang pemaafan ini lantas ditradisikan oleh umat Islam Nusantara dalam
bentuk yang disebut halal-bi halal tadi. Istilah ini konon sudah ada
sejak zaman Sunan Giri. Telah menjadi tradisi pada saat pemerintahan
Mangkubuana I atau yang dikenal dengan Pangeran Samber Nyawa, tetapi yang membuat popular adalah sosok ulama
NU, KH Wahab Hasbullah. Kiai inilah yang menyarankan pada presiden Soekarno
untuk melakukan acara halal bi halal di istana negara untuk meredakan
ketegangan politik saat itu.
Ala
kulli hal, fakta ini juga menunjukkan titik terang pada kita: bahwa membincang
Islam Nusantara pada hakikatnya bukan sekadar menyatakan bahwa Islam di
Nusantara memiliki ciri moderasi dan perdamaian, tidak juga hanya ingin
memperlihatkan bahwa Islam di Nusantara bisa berpeluk mesra dengan tradisi.
Tetapi lebih dari itu Islam Nusantara adalah temuan jenius ulama-ulama
Nusantara dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Dari aspek sosial-ekonomi
seperti konsep masyarakat tadi, konsep kemaritiman seperti temuan sunan Giri
dalam UU Malaka, sampai konsep kedaulatan tanah yang berasal dari tanah
berberkah KH Arsyad Al-Banjari. Bahkan Islam Nusantara juga berbincang tentang seksologi hingga ilmu bela diri.
Kekayaan intelektual para ulama Nusantara itu, kini menunggu tangan-tangan
muslim Nusantara untuk menggarapnya.
Komentar
Posting Komentar