Ada Apa dengan (Haji) Bawakaraeng
Ijhal Thamaona
Kalau Anda bertanya kepada seorang muslim, apakah ia punya niatan naik
haji, maka dari jutaaan mereka nyaris punya jawaban yang sama,
"ingin berhaji melengkapi rukun Islam kelima. Saya pun adalah satu dari
sekian banyak umat Islam yang selalu mengharu-birukan doa untuk mendapat
undangan Sang Khaliq ke Rumah-Nya yang suci itu.
Naik haji ke Baitullah (Makkah al-Muqarramah) memang
adalah idaman tiap umat Islam. Betapa tidak, selain pelaksanaannya merupakan
pemenuhan rukun Islam yang kelima, beribadah di tanah suci ini, nilai pahalanya
bisa seribu kali lipat dibanding dengan beribadah di tanah air. Demikianlah
keyakinan kita, keyakinan umat Islam yang tentu saja ditunjang dengan berbagai
dalil naqli. Belum lagi kisah sahabat dan handai tolan, para pendahulu kita
dalam berhaji, yakinlah disana penuh dengan nuansa propetik, sakral, mengharukan,
sesak dengan spritualitas dan terkadang dibarengi cerita misterius nan ghaib.
Kesemuanya itu bagai irama buluh perindu mengetuk dan mengelus-elus rasa kita
yang paling dalam, pada gilirannya menghadirkan hasrat dan gelora rindu yang
secara rohaniah barulah terpenuhi jika bisa menyaksikan secara langsung Ka’bah
al-Mukarramah.
Maka tak mengherankan bila tiap tahunnya jemaah haji
di Indonesia terus bertambah, bahkan melebihi quota yang telah ditetapkan. Tak
peduli kondisi perekonomian bangsa kita yang morat-marit dan kemiskinan kasat
mata dimana-mana, jumlah orang Islam yang ingin menunaikan rukun Islam yang
kelima ini tidak pernah susut.
Namun, bagaimana jika ada seseorang atau sekelompok
masyarakat yang tiba-tiba memilih cara lain untuk memenuhi ritual yang dianggap
sepadan dengan 'haji' ? Dianggap cara lain karena berbeda dengan pelaksanaan
haji yang mainstream. Jika lazimnya haji itu ritual yang semua prosesnya
dilakukan di Makkah-Madinah-Mina , maka yang ini justru ritualnya di puncak
Bawakaraeng, salah satu gunung di Sulawesi Selatan.
Ritual (Haji) Bawakaraeng oleh sebagian besar umat
Islam mungkin dianggap ngawur. Yang gampang menunduh orang sesat, lelaku
semacam ini adalah makanan empuknya. Mereka akan segera memberi stempel sesat,
murtad, musyrik dan segudang streotipe lainnya. Bahkan sebagaian dari kita yang
merasa agamanya paling benar biasanya buru-buru meyerukan kepada aparat yang
berwenang untuk membubarkan atau menangkapi komunitas masyarakat seperti ini
dengan alasan klasik “meresahkan atau mengganggu masyarakat.” Padahal jika dipikir-pikir
lagi, gimana masyarakat mau terganggu bin resah, lha wong… ritualnya jauh di
atas gunung. Mereka jungkir-balik di atas sana, teriak-teriak sampai serak,
sesungguhnya juga kita tidak melihat dan mendengarnya kan?
Sebelum terlanjur memberikan label sesat atau bahkan
berupaya membubarkan kelompok seperti komunitas (Haji) Bawakaraeng ini,
sebaiknya kita memahami dulu keberadan dan motif kemuncullannya. Siapa tau yang
kita anggap sesat itu, di dalamnya ternyata penuh hikmah; tentang kesalehan,
kepasrahan dan keikhlasan. Bahkan sangat mungkin di sana, pada ritual (haji)
bawakaraeng itu, terdapat simbol resistensi dan pertarungan tentang pusat dan
pinggir akan makna kebenaran agama.
Ritual (Haji) Bawakaraeng bukanlah sesuatu yang muncul
tiba-tiba dari kelompok masyarakat yang sekedar cari sensasi. Tak juga
sesederhana dugaan beberapa kalangan bahwa tradisi semacam ini muncul karena
masih kurangnya pemahaman agama (Islam) dari beberapa kelompok di masyarakat
kita. Tradisi semacam ini sudah berjalan lama dalam medan negosiasi dan
kontestasi yang begitu rumit antara agama (Islam) dan tradisi lokal.
Diperkirakan jauh sebelum abad ke-15, Pada masa
kerajaan Gowa dan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi-selatan, masyarakat
sul-sel sudah sering melaksanakan ritual di puncak Bawakaraeng. A.A.Cence
(1931) dan De Jong (1996) dua diantara peneliti tentang keyakinan Orang Sul-sel
menyatakan, bahwa kebiasaan melaksanakan ritual di Puncak Bawakaraeang ini
berkaitan dengan sebagian kepercayaan masyarakat Sul-sel yang disebut dengan
Patuntung. Dalam kepercayaan ini diyakini adanya Sang Pencipta yang disebut dengan
To Kammayya Kananna (Yang pasti terjadi ucapannya) yang bersemayam ditempat
yang tinggi. Karena itu dalam berhubungan dengan Sang Pencipta ini, masyarakat
Sulawesi-Selatan senantiasa mencari tempat yang dirasa dekat dengan sang
Pencipta dan tempat itu adalah gunung. Namun pada saat itu ritual di
Bawakaraeng masih merupakan khas ritual masyarakat lokal dan belum diistilahkan
dengan haji Bawakaraeng.
Kedatangan Islam yang diperkirakan sudah dipeluk oleh
kalangan masyarakat Sul-sel sekitar abad ke-13-15, cukup mempengaruhi
keberadaan dari keyakinan-keyakinan lokal seperti tradisi Bawakaraeng ini.
Saat itu meskipun Islam tidak datang dengan missi menghabisi kebudayaan
setempat namun tetap saja mencoba untuk meng-“agama”-kan masyarakat sul-sel,
termasuk ritual Bawakaraeng ini.
Untuk mempertahankan tradisi yang mereka yakini,
masyarakat lokal ini berupaya untuk beradaptasi dengan ajaran Islam yang datang
dengan menegosiasikan beberapa dari tradisi mereka dengan ajaran Islam. Proses
peniruan-peniruan atau meminjam bahasa Homi Bhaba, “mimikri”, mulai
berlangsung. Ajaran Islam seperti haji ditiru dan diadaptasi kedalam tradisi
naik ke Bawakaraeng masyarakat sul-sel. Tentu saja keliru bila mengasumsikan
proses adaptasi dilakukan serampangan dan senaknya oleh komunitas masyarakat
lokal ini. Justru proses ini mereka lakukan, karena disatu sisi harus mengikuti
ajaran baru yang bernama Islam namun di sisi lain mereka tetap berupaya
mempertahankan tradisi leluhur. Untuk memepertahankan tradisi itu, komunitas
Bawakaraeng berupaya memasuki ruang-ruang agama yang bisa dinegosiasi, misalnya
pada bentuk-bentuk formal (eksoteris) dari agama yang masih menyisakan ruang
tafsir.
Proses inilah kemudian yang memunculkan tradisi ritual
(haji) Bawakaraeng. Yaitu proses negosiasi antara kebiasaan naik ke bawakaraeng
dengan ritual haji dalam Islam. Dalam proses ini tampak peniruan-peniruan
simbolik, misalnya peyebutan nama-nama tempat yang sama antara tempat haji di
Makkah dan di Bawakaraeng. Jika di Makkah ada Kabbah dan kuburan Rasulullah
maka mereka juga menyebut ada Kabbah, Madinah atau Kuburan Rasulullah di
Bawakaraeng. Namun dalam tataran nilai kehajian, mereka hampir sepakat untuk
tidak mengatakan mereka sudah berhaji atau tidak. Dalam pandangan mereka soal
apakah mereka sudah haji atau tidak itu merupakan urusan Tuhan. Itulah kenapa
sedari awal saya memberi tanda “kurung” terhadap kata 'haji' ini pada istilah
'haji' Bawakaraeng, sebab penganut tradisi ini tidak pernah mendaku diri
sebagai haji.
Gelaran itu sendiri, sebenarnya disematkan orang luar,
tentu dengan maksud untuk menunjukkan kengawuran tradisi ini. Namun dengan
lihai, komunitas pengusung tradisi ini mengambilnya sebagai identitas untuk
menunjukkan pada khalayak bahwa tradisi mereka bukanlah kemusyrikan atau
penyembahan berhala. Justru ini adalah ritual yang bisa sangat Islami; seirama
dengan ritual berhaji di Tanah Suci Makkah.
Namun apakah betul ritual mereka tidak sejajar dengan
pahala haji ? Tunggu dulu, itu soal lain. Kalau ini yang bermain bukan
soal-soal eksoteris dan formalis. Tempat bisa tidak menjadi ukuran, cara
tidaklah jadi patokan, apakah Allah akan membalas susah payah mereka untuk
berdekatan dan berasyik masyuk dengan-Nya, setara pahala haji atau tidak.
Bukankah Ali al-Muwaffaq si tukang sol sepatu, mendapatkan pahala haji, justru
bukan karena naik ke Makkah. Ia malah menyerahkan ongkos naik hajinya yang
dikumpulkan bertahun-tahun untuk menolong tetangganya yang lebih membutuhkan.
Tapi jutru di titik itulah Ia mendapatkan balasan pahala haji.
Kisah tak kalah mencengangkannya adalah kisah seorang
sufi yang ke Makkah ingin berhaji dan mengunjungi ka’bah, tapi ka’bah tidak ada
di tempat. Ternyata setelah dilacak, ka’bah malah mengunjungi Rabiatul
Adawiyah, seorang sufi perempuan yang terkenal. Dan ketika ditelusuri ternyata
bagi Rabiatul Adawiyah tempat dan segala ciptaan Allah tak ada lagi di hatinya.
Yang ada hanya Sang pencipta dari Ka’bah tersebut. Karena itu Ka’bah sebagai
makhluk tunduk terhadap sang pencinta Khaliq itu dan berkenan datang mengunjungi
Rabiatul Adawiyah.
Mungkin cerita itu kental dengan fiksinya. Tapi
pesannya jelas. Allahlah yang punya wewenang menentukan pahala seseorang. Haji
secara syariat pelaksanaannya memang di Mekkah, tapi jika niat tidak ikhlas dan
tujuan hanya sekedar terpandang secara social, boleh jadi pahala kita akan di
sematkan pada hamba lainnya. Mungkin saja pada Hamba Allah yang berpayah-payah
mendaki Bawakaraeng misalnya, khususnya mereka yang tanpa niat lain, kecuali
karena ingin berdekatan dengan Sang Khaliq.
Pada akhirnya, ritual (haji) Bawakaraeng ini meski
pada awalnya adalah bagian dari negosiasi bahkan mungkin juga resistensi
komunitas local terhadap satu ajaran baru, namun juga bisa menjadi kritik yang
sangat bermakna bagi kita semua umat Islam. Pertanyaan reflektifnya adalah :
“Kenapa ya….ada di antara umat Islam lebih memilih ke Bawakaraeng untuk
berdekatan dengan Sang Khaliq di banding ke Mekkah ?”. Apakah karena sebagian
dari yang sudah melaksanakan haji di antara kita, setelah kembali ke Tanah air,
bukannya menjadi teladan tapi malah menempatkan dirinya pada posisi sosial yang
tinggi? Membuat kesenjangan sosial yang ada di masyarakat semakin menganga.
Ataukah karena penyelenggaraan haji baik yang dilakukan di Tanah Air maupun
oleh pemerintah Arab Saudi selain mahal juga tak pernah sepi dari masalah?
Ataukah para pencari Tuhan di Bawakaraeng itu juga tau
kabar terakhir yang membuat beberapa orang yang berhaji ke Mekkah nelangsa
spiritual? Katanya pemerintah Arab Saudi dari hari ke hari menghancurkan
berbagai situs-situs bersejarah. Sami Angawi, pakar arisitektur Timur Tengah
menyebut setidaknya 300 bangunan bersejarah dimusnakhkan dalam 50 tahun
terakhir. Diantara itu adalah rumah Rasulullah dan beberapa maqam sahabat.
Penghancuran itu dibarengi dengan pembangunan kota Mekkah menjadi lebih modern.
Gedung pencakar langit dibangun, perumhan elite di tata. Starbucks, Cartier and
Tiffany, H&M dan Topshop bermekaran di mana-mana. Makkah sekarang sudah
seperti Las Vegas, " itulah pernyataan Ali al-Ahmad, direktur Institute
for Gulf Affairs-lembaga riset oposisi Saudi untuk menggambarkan Mekkah saat
ini. Terasa menyesakkan tapi itulah yang terjadi. Situs bersejarah dari
Rasulullah yang sesungguhnya mendatangkan keharuan jika memandangnya,
melahirkan kedalaman rasa spritualitas jika berada di dekatnya kini diratakan
dengan tanah dengan alasan bisa mendatangkan kemusyrikan. Namun di saat yang
sama berhala-berhala baru dibangun. Gedung pencakar langit dan menara jam yang
menjulang gagah kini menjadi kebanggaan.
Entahlah…di antara sekian pertanyaan itu saya juga
tidak tahu yang mana membuat mereka memilih Bawakaraeng dibanding Makkah. Bisa
salah satunya, namun sangat mungkin juga semuanya. Tapi yang pasti menangguk
hikmah dari tradisi ritual (haji) Bawakaraeng lebih bermakna bagi kita semua
dari sekadar mengadili dan menyalahkan mereka.
Ada kontak yang bisa dihubki?
BalasHapushubungi email bhatijalgol@gmail.com
Hapus